KABAR meninggalnya Rukayah si kembang desa Jatiwangi segera menyebar ke seluruh penjuru kecamatan bak bau ikan asin bakar yang dengan mudah terbawa angin. Kabar kematian Rukayah itu tentu saja lebih mengejutkan ketimbang berita perampasan tanah Rempang yang berdalih pembangunan.
Bagi kalangan pemuda yang berlomba merebut cinta Rukayah, status kembang desa Rukayah itulah yang paling mengejutkan dalam berita kematiannya. Itu artinya tak seorangpun yang keluar sebagai pemenang dalam memperebutkan cinta Rukayah.
Lain dengan para pemuda, lain pula dengan para penganut ilmu kasepuhan. Bagi mereka yang mengetahui ilmu-ilmu kasepuhan, kematian Rukayah yang kebetulan pada malam Jumat Wage itu sungguh sangat mengagetkan sekaligus mendebarkan. Tak terkecuali dengan Padmo.
Padmo si komandan Hansip kampung itupun segera mengumpulkan anak buahnya. Gerakannya boleh dibilang lebih cepat ketimbang laju kereta cepat yang hanya membuat hutang negara semakin menggelembung itu.
Padmo segera memimpin rapat khusus. Lelaki yang berkumis tebal itu lalu membagi pasukannya menjadi 3 regu. Masing-masing diketuai oleh komandan regu. Tugasnya hanya 1. Jaga dan amankan kuburan Rukayah selama 40 hari. Selama bertugas dilarang mengantuk apalagi tidur meski sekejap. Begitulah pesan Padmo dengan suaranya yang menggelegar.
“Pokoknya jaga dan amankan secara bergantian! Tidak usah banyak tanya! Aku yang bakal bertanggung-jawab terhadap makan dan minum keluarga kalian!” bentak Padmo dengan nada tinggi ketika Klowor bertanya mengapa kuburan Rukayah mesti dijaga.
Mendapat bentakan yang sedemikian serunya, Klowor yang sehari-harinyamenjadi kuli angkut di pasar itu langsung menkerut bagai kerupuk yang tersiram kuah sayur lodeh.
“Siap Komandan!” jawab Klowor spontan sambil memberi sikap hormat.
“Begitu khan lebih baik,” sahut Padmo kemudian. Dan ketika seluruh anggota Hansip itu telah bubar, tepatnya dibubarkan.
Padmo segera merogoh kantong celananya untuk mengambil HP miliknya. Sedetik kemudian ia telah berbicara dengan seseorang di seberang telepon. Pembicaraannya terlihat sedemikian serius dan mungkin sangat rahasia.
Berkali-kali mata Padmo seperti sibuk mengamati keadaan di luar. Lelaki itu seperti tak ingin seorangpun menyadap pembicaraannya.
“Ingat! Itu jimat yang sangat bertuah! Jimat itu dapat memuluskan hajatku untuk melenggang ke Ibukota! Kamu harus dapat mengambilnya!” ucap seorang laki-laki di seberang telepon.
Mendengar perintah itu Padmo hanya terdiam tak membantah sepatah katapun.
“Siap Bos! Saya jamin semuanya beres,” jawab Padmo berkali-kali sebelum ia menutup pembicaraannya dengan seseorang di seberang telepon tersebut.
Sejurus kemudian Padmo sudah terlihat mengarahkan motornya ke arah utara menuju hutan jati di seberang kali.
Senja telah tertelan gelap ketika Padmo memasuki sebuah rumah yang tersembunyi di dalam lebatnya hutan Jati.
“Ini bukan perkara mudah Nak!” kata lelaki tuayang ditemui Padmo setelah Padmo mengutarakan maksud kedatangannya.
“Tapi ini menyangkut hidup dan mati Saya Ki,” jawab Padmo dengan nada sedikitmenghiba.
“Kain kafan dari perawan suci yang meninggal pada malam Jumat Wage itu memang sangat bertuah. Seseorang yang memakai ikat pinggang dari sobekan kain kafan tersebut tidak akan terlihat oleh siapapun. Orang bilang ilmu seperti itu adalah Halimunan,” jelas Ki Bongkok sembari menyulut rokok kreteknya.
Mendengar ucapan Ki Bongkok barusan Padmo langsung terkesima. Otak lelaki berkumis tebal dan berperawakan tinggi besar itu langsung membayangkan sesuatu. Betapa ia dan keluarganya tidak akan susah lagi jika benar-benar ia berhasil mencuri kain kafan pembungkus mayat Rukayah.
“Ini aku bawakan sekantong beras kuning untuk mensirep para penjaga kuburan agar terlelap. Tapi Kamu harus hati-hati. Jangan sampai tragedi anjing-anjing menyerbu kuburan sebagaimana yang dituturkan oleh Pak Kuntowijoyo terjadi padamu juga,” pesan Ki bongkok kepada Padmo sembari menyerahkan sekantung beras kuning kepadanya. Mendengar ucapan Ki Bongkok, tak urung nyali Padmo mengkerut juga.
Masih lekat dalam ingatannya bagaimana Si kuli bangunan yang diceritakan oleh Pak kuntowijoyo itu harus meregang nyawa di ujung gigi taring anjing-anjing liar yang bersemayam di pekuburan tatkala ia hendak mengambil daun telinga mayat yang mati pada hari anggara kasih tersebut. Spontan bulu kuduknya meremang membayangkan bagaimana sadisnya gerombolan anjing-anjing pekuburan itu tatkala menghabisi nyawa si kuli bangunan tersebut.
“Apa tidak sekalian Saya diberi mantra untuk mengusir anjing-anjing keparat penunggu kuburan itu Ki?” pinta Padmo kemudian. Ki Bongkok hanya menggelengkan kepalanya demi menjawab permintaan Padmo.
“Kamu sudah lebih mahir tentang bagaimana cara melenyapkan anjing-anjing keparat itu,” jawab Ki Bongkok sembari menerima amplop dari padmo. Lelaki tua renta itupun segera menyelipkan amplop berisi uang pemberian Padmo tersebut ke dalam lipatan pecinya sembari tersenyum puas.
“Jangan lupa, kalau Bapak itu hendak memakai kain kafan tersebut sebagai jimat keinginannya menjadi petugas anu, bawalah kain kafan itu kemari agar Aku bisa menyempurnakannya,” pesan Ki Bongkok ketika Padmo berpamitan. Lelaki tua itu seakan tahu persis apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Padmo.
“Kok ki Bongkok tahu?” tanya Padmo heran.
“tak perlu heran. Aku sudah puluhan tahun menjadi dukun. Jadi tahu persis pikiran orang yang datang padaku. Aku juga tahu siapa saja teman-teman orang-orang yang mendatangiku,” jawab Ki Bongkok sembari tersenyum tipis. Untuk kesekian kalinya Padmo dibuat kagum oleh kesaktian Ki Bongkok. Ternyata kesaktian Ki Bongkok bukan hisapan jempol belaka, batin Padmo kagum.
Keesokan harinya, Padmo telah terlihat menyandang senapan angin kaliber 5 mm. Tangan kanannya terlihat memegang tali kekang anjing kesayangannya menuju pekuburan dimana Rukayah dikubur.
Regu Hansip yang kebetulan telah mendapat giliran jaga terlihat keheranan melihat kedatangan Padmo tersebut. Agar tidak mendapatkan pertanyaan lebih banyak lagi, Padmopun langsung menurunkan aneka makanan dan minuman di hadapan regu jaga tersebut. Tak lupa beberapa botol miras ia selipkan. Disamping itu satu persatu regu jaga itu ia beri amplop.
Terlihat raut kegembiraan menghiasi wajah Hansip-hansip tersebut. Selanjutnya Padmopun segera berjalan masuk ke dalam pekuburan yang gelap dan terkenal wingit tersebut. Beberapa kali anjingnya diminta untuk menggonggong agar mengundang anjing-anjing liar yang bersemayam di pekuburan tersebut.
Lolongan anjingnya yang memang tengah birahi itupun segera disambut oleh lolongan anjing-anjing liar. Tak lama kemudian anjing-anjing liar itupun segera mendekati anjing Padmo. Satu per satu anjing-anjing liar itu menyembul dari balik gerumbul semak-semak belukar yang tumbuh liar di pekuburan tersebut. Melihat kejadian itu tak urung bulu kuduk Padmo meremang ngeri.
Tatapan jalang dari anjing-anjing itu terlihat siap menerkam mangsanya. Padmopun tak ingin berlama-lama berada dalam ketakutannya. Otak culasnya langsung bekerja. Dikeluarkannya beberapa potong daging segar dari ranselnya. Ia lemparkan potongan daging segar itu ke arah kerumunan anjing liar pekuburan tersebut. Sementara anjing piaraannya ia tarik untuk mendekat kepadanya agar tidak ikut-ikutan berpesta dengan anjing-anjing liar tersebut.
Mata padmo seperti tak berkedip sedetikpun ketika anjing-anjing liar itu mulai mnyergap daging hadiah Padmo. Dan tak perlu berlama-lama lagi. Anjing-anjing itupun segera meregang nyawa satu per satu. Rupanya Padmo membubuhkan racun ke dalam daging-daging tersebut.
Tak seekorpun anjing liar itu tersisa hidup. Satu per satu anjing-anjing liar itu terlihat berkelojotan sembari mengeluarkan buih dari mulutnya. Sementara itu matanya terlihat mendelik seakan-akan hendak melompat dari batok kepalanya.
Sekali lagi bulu roma Padmo dibuat bergidik. Anjing miliknya berkali-kali menyalak liar tak karuan. Mungkin ia juga ngeri ketika anjing-anjing itu terlihat berkelojotan. Beberapa kali pula tangan Padmo mengelus kepala anjingnya untuk menenagkannya.
“Enyahlah kalian semua ke neraka!” ucap Padmo sembari memasukkan bangkai anjing-anjing liar itu ke dalam karung. Dan sejurus kemudian Padmopun segera melangkahkan kakinya keluar dari pekuburan sembari menggendong karung berisi bangkai anjing-anjing liar tersebut.
“Kambing balap,” sahut Padmo sambil mengeluarkan 2 ekor bangkai anjing liar dari karung ketika seorang hansip menanyainya. Beberapa temannyapun langsung memahami apa maksud perkataan Kambing Balap dari mulut Padmo tersebut. Seorang diantaranya langsung bergegas mengumpulkan ranting-ranting kering.
Seorang yang lain segera mengeluarkan pisau belatinya dan mendekati bangkai anjing tersebut. Siang itu mereka bikin pesta sate Kambing Balap. Sebelum pulang tak lupa Padmo juga meninggalkan beberapa dus kartu remi dan domino untuk teman berjaga agar tidak pada kantuk.
Jam sudah menunjukkan anka 11 malam ketika Padmo mengendap-endap mendatangi kembali pekuburan. Sebelum berangkat, ia sempatkan untuk menelpon seseorang yang kemarin petang telah memerintahkannya. Komandan hansip itu sepertinya hendak mengatakan bahwa misinya sebentar lagi beres. Dan itu berarti pundi-pundi uang untuk keluarganya.
Beberapa Jengkerik yang menderik segera menyelinap ke dalam sarangnya tatkala kaki Padmo menginjak rerumputan. Di langit hanya terlihat bulan yang enggan bersinar. Ibarat kata malam itu hanya ada Padmo, bulan dan kegelapan. Dari tempatnya bersembunyi terlihat seregu Hansip tengah bermain kartu remi dan domino.
Beberapa kali terdengar tawa gembira ketika salah satu dari mereka dihukum karena kalah. Menjelang tengah malam barulah terdengar beberapa Hansip mulai menguap. Mendengar itu, Padmo langsung bergegas menjalankan perintah Ki Bongkok.
“Rem sidem rem. Rem sidem rem,” ucap Padmo merapal mantranya sembari menaruh beras kuning yang telah diberi mantra sirep itu ke empat arah penjuru mata angin sebagaimana pesan Ki Bongkok. Ketika keempat arah itu sudah diberi beras kuning, entah bagaimana tiba-tiba saja satu per satu Hansip-hansip itu tertidur. Hanya tinggal seorang saja yang masih terjaga. Beberapa kali ia berusaha untuk membangunkan teman-temannya. Tapi hasilnya nihil belaka.
“Dasar tukang molor! Disuruh jaga malah molor,” umpat seorang hansip yang masih terjaga sambil menepuk tubuh teman-temannya tersebut. Tak satupun dari temannya tersebut yang bangun. Boro-boro bangun, yang terjadi justru mendengkur.
Mungkin karena perut mereka yang kekenyangan oleh sate Kambing balap santapan tadi siang dan sore hari tadi. Apalagi menu Kambing balap tersebut ditutup dengan menenggak beberapa botol bir. Lengkap sudah.
Dari tempat persembunyiannya yang terakhir, Padmo terus mengawasi salah satu Hansip yang masih terjaga. Mujur bagi Padmo, seorang itupun akhirnya mulai terlihat menguap sebelum akhirnya tertidur juga.
“Hebat juga mantra sirep Ki Bongkok ,” puji Padmo dalam hati. Jantungnya terasa berdebar lebih kencang. Baru kali ini ia merasakan betapa ampuhnya ajian sirep dari Ki Bongkok kenalannya tersebut.
Ketika para hansip penjaga itu benar-benar telah tertidur pulas, Padmopun langsung keluar dari tempat persembunyiannya. Sisa beras kuning yang masih ada di kantong segera saja ia taburkan di sekitar tempat para Hansip itu berjaga.
Dan sedetik kemudian Padmo sudah terlihat berdiri di samping kuburan Rukayah untuk mencuri kain kafannya. Senyumnya terlihat mengembang gembira membayangkan tumpukan uang hadiah si bos yang hendak melenggang ke ibukota itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi iapun segera berkomat-kamit membaca mantra yang diajarkan oleh Ki Bongkok sembari memejamkan matanya.
Dan ketika Padmo tengah berjongkok hendak memulai menggali kuburan Rukayah, tiba-tiba saja tubuhnya yang tegap itu telah limbung jatuh tersungkur. Sebilah parang telah menebas lehernya.
Hanya terdengar jeritan pelan sebelum darahnya tumpah menggenangi kuburan Rukayah. Sejurus kemudian bau anyir pun membubung ke angkasa seiring dengan tergelincirnya bulan. Dan hanya pekatnya malam saja yang tahu ketika seorang lelaki terlihat meludahi tubuh Padmo yang sudah tak bernyawa itu. Dari raut mukanya, lelaki tersebut terlihat sangat girang sekali.***
Cerpen ini sengaja ditulis untuk mengenang Kuntowijoyo, sang pencetus sastra profetik yang lahir pada 18 September 1943.