Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Meski Tervonis Tak Wajar

Redaksi
×

Meski Tervonis Tak Wajar

Sebarkan artikel ini

Alhasil, saya merasa awal menghuni perumahan, serasa hidup dalam kepura-puraan. Hidup dalam ketidaksungguhan. Tidak apa adanya. Segalanya jadi rayahan, jadi bahan omongan se-kompleks? Syukur kemudian, Tuhan menjawab ketidaknyamanan saya: tradisi serba bersama, lambat laun memudar. Tak sampai lebih dari dua tahun, kebiasaan bersama-sama itu menyurut, seiring laju pertambahan penghuni perumahan.

Tahun 2008 ada sembilan kepala keluarga, tahun 2010 melesat jadi 37 keluarga, kini sudah hampir 80, dan akan terus bertambah hingga 100 unit. Laju yang sungguh pesat untuk sebuah kompleks di pinggiran kota. Kebiasaan nongkrong di pos ronda, yang semula hampir saban malam, mulai tahun 2010 ditinggalkan. Rumah-rumah telah banyak berbenah, pagar rapat, dan ber-AC, sehingga rata-rata penghuni enggan keluar rumah, selain seperlunya saja.

Budaya kolektif menguap, walau tak 100 %. Namun, saya merasa terbebas dari perasaan bersalah. Tiada lagi kewajiban ritus meronda tiap malam. Tiada lagi seremoni membeber rahasia pribadi, dan menguak luka orang lain. Saya terbebas dari rasa sungkan, bahwa saya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Tak ada lagi perasaan rendah diri, walau ada senjang karir. Walau celah mendulang pundi teramat minim, dan kenyataan gubuk kami yang tak kunjung mulus.

Budaya kolektif raib, dan pelan-pelan bersemi gejala individualis. Gejala sendiri-sendiri, tak memedulikan kanan kiri. Lantas, inikah yang terbaik?

Jelas tidak. Tetap berkemungkinan plus minus. Tidak sepenuhnya baik, pun sebaliknya tidak jelek melulu. Saya menikmati gejala individualis, karena kita bisa bebas mengekspresikan diri segila mungkin, tanpa tudingan dan sorotan yang berarti dari mata-mata tetangga. Kita dapat menentukan arah biduk rumah tangga, tanpa campur tangan kanan kiri, yang semula selalu diusili: “kenapa begini, kenapa begitu?” Kita menjadi raja untuk diri sendiri.

Asosial! Ya, itu minusnya. Serasa tiada kawan karib seiring untuk dimintai tolong. Urusan air yang tiba-tiba mogok, berhenti mengalir di salah satu penghuni, misalnya, tidak lagi patut dibicarakan bersama dan apalagi menjadi urusan bersama. Air tidak mengalir, ya, harus dibenahi sendiri, kalau tidak sanggup, ya, mesti bayar tukang. Selesai perkara. Gaya hidup bersama, gotong royong, bukan lagi santapan mata sehari-hari.

Terus bagaimana? Memang, apa pun kenyataan, tiada ideal. Tetap hukum plus minus yang berlaku. Tidak ada yang mutlak sempurna, tidak ada yang 100 % memuaskan hati. Dari sinilah saya belajar, bukanlah kesempurnaan hidup yang dikejar, bukan kepuasan hasrat yang dipenuhi, melainkan kesungguhan menjalani proses. Baik kolektivitas maupun individualitas, bukan tujuan, melainkan akibat. Tiada ruang alasan untuk tidak bersungguh-sungguh dalam menempuh pilihan hidup. Meski tervonis tak wajar.