Kondisi tampak menjadi lebih buruk jika dilihat dalam target rasio atas Produk Domestik Bruto (PDB). Targetnya adalah sebesar 6,34%. Yang diperhitungkan dari defisit sebesar Rp1.039,22 triliun atas PDB yang diasumsikan sekitar Rp16.390 triliun.
Jika realisasi PDB sesuai asumsinya, maka rasio akan meningkat menjadi 6,53%. Diperoleh dari prakiraan defisit Rp1.070 triliun atas nilai PDB yang diasumsikan oleh Perpres No.72/2020.
Padahal, realisasi PDB sejauh ini mengarah pada besaran nilai yang lebih rendah dari. Pertumbuhan ekonomi ternyata terkontraksi lebih dalam, sedangkan tingkat inflasi masih tetap terkendali. Sebagaimana diketahui, besaran PDB yang dipakai sebagai ukuran rasio merupakan PDB atas dasar harga berlaku. Meski pertumbuhan ekonomi terkontraksi (minus), nilainya masih bisa bertambah dibanding tahun 2019, dengan adanya faktor tingkat inflasi.
APBN Kita edisi Nopember 2020 secara implisit telah sedikit menurunkan asumsi nilai PDB, dengan menyebut realisasi defisit sementara sebagai 4,67% terhadap PDB. Oleh karena defisitnya sebesar Rp764,89 triliun, maka PDB diasumsikan sebesar Rp16.378,76 triliun. Sedikit lebih kecil dari asumsi Perpres No.72/2020 di atas.
Penulis sendiri memprakirakan PDB tahun 2020 secara nominal hanya akan di kisaran Rp16.100 triliun. Perhitungannya berdasar asumsi pertumbuhan ekonomi yang akan terkontraksi sekitar 2%, dan tingkat inflasi yang masih terkendali sekitar 3,5%.
Perhitungan selanjutnya, membandingkan prakiraan defisit penulis (Rp1.070 triliun) dengan prakiraan nilai PDB nominal tersebut. Akan diperoleh rasio defisit sebesar 6,65%. Lebih lebar dari targetnya yang sebesar 6,34%.
Realisasi APBN tahun 2020 yang demikian akan makin membebani pelaksanaan APBN tahun 2021. Target Pendapatan Negara APBN 2021 sebesar Rp1.743,65 triliun membutuhkan kenaikan sebesar 6,97% untuk mencapainya. Menjadi kurang realistis dibanding rencana semula yang hanya butuh kenaikan 2,57%.
APBN 2021 merencanakan rasio defisit sebesar 5,07% atas PDB. Dengan target pendapatan yang makin berat dicapai, sementara belanja masih akan tetap digenjot karena berbagai alasan, maka defisit kembali melampaui target. Sejauh ini, Pemerintah masih bersikeras untuk meningkatkan belanja dengan narasi mitigasi dampak pandemi dan mendorong pemulihan ekonomi.
Dampak langsung dari defisit yang akan melebar pada tahun 2020 dan pelebaran yang berpotensi berlanjut pada tahun 2021, maka kebutuhan akan utang menjadi bertambah besar. Pembiayaan utang akan melebihi rencana semula.
Realisasi Pembiayaan Utang sendiri hingga akhir Oktober 2020 baru mencapai Rp958,63 triliun. Nilai itu merupakan 78,54% dari rencana Perpres No.72/2020 yang sebesar Rp1.220.46 triliun. Namun, berdasar catatan historis realisasinya, pembiayaan utang lah yang paling sering mencapai kisaran target 100% nya. Di masa lalu, bahkan dimungkinkan melampaui pagunya jika ada alasan teknis yang telah diberi payung hukum pada pasal-pasal APBN tahun bersangkutan.
Dampak pandemi covid-19 memang membuat pengelolaan APBN menjadi lebih sulit. Pemerintah dihadapkan pada berbagai dilema pilihan kebijakan. Meski demikian, upaya pengendalian defisit tetap merupakan hal paling serius. Jika memilih kebijakan yang keliru, maka yang terancam adalah keberlanjutan fiskal. Pemerintah mungkin saja bisa mengatasi soalan pada tahun berjalan, namun menyemai masalah yang makin berat di masa mendatang.
Alarm peringatan tentang ancaman defisit yang bermuara pada peningkatan utang dan beban pembayarannya jelas telah berbunyi nyaring. Alarm itu mengingatkan kebutuhan perbaikan kebijakan pengelolaan APBN yang lebih mendasar serta paradigmatik. Bukan dengan cara lebih mengedepankan hal lain secara berlebihan. Seperti narasi kebijakan seolah segalanya akan teratasi. Apalagi dengan klaim, kondisi kita masih lebih baik dari banyak negara lain.