Oleh: Khairul Fahmi
LIMA tahun yang lalu, Prabowo bagi kelompok oposisi adalah sosok yang dibanggakan, gagah, baik, dan sebagainya. Seolah semua orang tutup mata atas tuduhan kasus-kasus yang disematkan padanya.
Karena seriusnya sebagian tokoh agama pendukungnya dengan mengeluarkan Ijtima Ulama untuk mendukung pasangan Prabowo Sandi. Bahkan tak kurang Ustadz Abdul Shomad bertemu khusus untuk mendoakan dan men-support-nya.
Itu dulu. Tapi setelah ia meninggalkan para pendukungnya dan menyeberang ke gerbong penguasa, caci maki kita banyak menghiasi platform media sosial. Apalagi sekarang ini, setelah ia termasuk yang ikut berkontestasi dalam pemilu 2024, soal penculikan yang sudah lewat dua puluh tahun muncul kembali.
Pada dua kali pilpres, saya termasuk yang dulu membela Prabowo atas berbagai kasusnya, tentu dengan berbagai pembenaran. Atau saya juga pernah membeberkan dan menjelaskan latar belakang keluarga dan silsilah keluarganya, saat ada pihak yang berusaha menyudutkan Prabowo, dengan penjelasan yang positif.
Tapi jujur saja, dalam hati kecil sebenarnya membenarkan kasus-kasus dimaksud, karena sebagai bagian dari aktivis 98, saya juga merasakan situasi yang mencekam atas tindakan represif militer saat itu, di mana Prabowo ada dalam lingkaran tersebut.
Belajar dari perjalanan mengikuti alur dan dinamika politik di negara ini, saya berusaha untuk obyektif dan rasional. Saya sudah menentukan pilihan untuk pileg dan pilpres 2024.
Tapi rasionalitas dan obyektivitas saya ingin kedepankan. Dengan cara pandang ini saya berharap lebih selektif dalam menerima berita dan informasi. Rasionalitas dan obyektivitas ini juga yang membuat kita tidak gampang memuji setinggi langit, dan membenci dengan cacian yang sengit.
Secara etik, agama Islam memang melarang sikap berlebihan/ekstrim (ghuluw), baik dalam beragama, apalagi dalam sikap dan pemihakan politik. Karena dalam politik pameo yang sangat populer : “Tidak ada musuh dan teman yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi”.
Islam mengajarkan sikap moderat, berada di tengah-tengah (tawassuth). Secara puitis Syauki Bek menyatakan :
” Cintailah sesuatu sekedarnya saja
Karena bisa jadi ia menjadi yang paling kau benci
Bencilah sesuatu sekedarnya saja
Karena bisa jadi ia menjadi yang paling kau cintai “
Wallahu a’lam bis showab