Peristiwa perkosaan massal 1998, yang seolah mengulang ketakberdayaan perempuan pada 1965-1966 yang ditangkapi tanpa surat penangkapan
BULAN Mei ini, ingatan saya langsung melayang pada peristiwa perkosaan massal 1998. Kekerasan seksual yang menimpa perempuan etnis Tionghoa itu terjadi pada 13 Mei hingga 15 Mei 1998 di Jakarta.
Laporan dari Tim Pencari Fakta, 85 orang korban kekerasan seksual, 52 orang di antaranya korban pemerkosaan. Dan angka sesungguhnya kemungkinan lebih banyak, karena tidak semua korban berani berbicara. Karena sebagian besar korban merasa tertimpa aib yang besar untuk dipamerkan ke publik.
Saya tidak tahu pasti, apakah negara berhasil hadir untuk mencipta rasa adil bagi kaum perempuan etnis tersebut? Entah! Tapi berdasar rilis Komnas Perempuan, 13 Mei 2022, negara masih bergeming dari penuntasan peristiwa teror seksual 1998.
Dan bulan Mei 2023, tragedi pemerkosaan pada Mei 1998 berasa terlupakan, karena mungkin sudah berlalu 25 tahun silam. Padahal mereka telah menjadi tumbal pergantian rezim.
Pada tahun yang lebih jauh lagi, saat peralihan dari orde Soekarno ke orde Soeharto, tahun 1965-1966, kekerasan seksual dan teramat keji juga menimpa kaum perempuan, yang dilakukan aparat negara dari penjara ke penjara.
Kaum tak berdaya ini ditangkap dengan tuduhan Gerwani. Mereka ditelanjangi, disiksa, diperkosa, hingga dibunuh di banyak penjara. Dan, lagi-lagi kasus ini tak sepenuhnya selesai.
Artinya apa? Tanpa sadar kita mewarisi sebuah kekuasaan yang bermula dari kekerasan yang berbasis tubuh perempuan. Saya sepaham, aksi perkosaan, baik tahun 1965-1966 maupun 1998, ini menjadi modus untuk meneror masyarakat di dalam perubahan politik dengan menggunakan tubuh perempuan.
Dan tak ada jaminan tak terulang lagi. Kita patut waspada, apalagi dari kedua kasus pemerkosaan tersebut, tak seorang pun yang diseret ke pengadilan.
Nah, menengok tindak keji terhadap perempuan, rasanya aneh saja, tatkala kita penuh percaya diri mendaku sebagai bangsa timur yang luhur dan bermartabat. Bangsa yang menjunjung tinggi kaum perempuan.
Saya bandingkan, misalnya, dengan narasi-narasi kebiasaan masyarakat jahiliyah Arab pada abad VII sebelum kenabian. Narasi yang tertutur dalam sejarah sebagai narasi kebejatan akut. Narasi membuang anak perempuan ke lubang kubur dan melecehkan perempuan.
Dari sekian buku sirah Nabi yang saya baca, saya berkesimpulan bahwa gambaran amoral masyarakat jahiliah itu tidaklah benar. Gambaran yang berlebihan. Perempuan-perempuan Arab sebelum wahyu kenabian turun, diceritakan sangat-sangat tak bermoral, tiada martabat, dan tanpa harga diri, itu sama sekali tidak benar.
Kaum perempuan di sana dan saat itu merupakan makhluk yang mandiri, yang sepenuhnya memiliki diri mereka sendiri. Mereka bukan subordinat atau milik laki-laki. Mereka bukan budak laki-laki.
Dan kaum laki-laki pun tak seenaknya bebas melecehkan perempuan di sembarang tempat dan waktu. Artinya, masyarakat yang diklaim oleh sejarah hidup pada masa jahiliah, tak sepenuhnya amoral.
Malahan di sini, di Jawa, para raja Jawa bisa seenaknya menempatkan perempuan layaknya barang yang bisa dipinjamkan sesuka hati. Seperti kisah putri Cina, selir Brawijaya V, yang dihadiahkan kepada Arya Damar, putra Brawijaya V yang diangkat menjadi adipati Palembang.
Di sini, raja-raja dan para bawahan legal menyimpan banyak selir. Bahkan istri orang lain pun bisa diambil paksa oleh seorang pangeran, ingat kisah Amangkurat I yang membawa lari istri Tumenggung Wiraguna, pejabat kesayangan Sultan Agung.
Dari situlah, akhirnya kita kudu hati-hati untuk tidak gampang memvonis manusia berdasar masa dan tempat. Tidaklah benar bahwa manusia sekarang ini atau manusia pada zaman kegelapan yang lalu, itu jauh dari nilai agama, jauh dari prinsip kemanusiaan.
Ada yang menilai bahwa generasi Muhammad itu adalah as-salaf as-salih, generasi dahulu yang saleh. Sementara generasi sebelum Muhammad merupakan masyarakat yang buruk. Atau generasi kini sebagai al-khalaf at-talih, generasi belakangan yang tidak saleh.
Padahal tidaklah demikian. Setiap generasi ada yang saleh, ada yang tidak. Setiap generasi ada yang religius, dan berakhlak luhur, ada yang suka berbuat kerusakan, dan melecehkan yang lain.
Dan hal itu berlaku baik Barat maupun Timur. Selalu ada kapan saja, dahulu, sekarang, atau pun nanti. Semua sama, berlaku saling memengaruhi satu dengan yang lain.
Dalam hidup ini, tidak ada manusia yang bagaikan malaikat suci, yang bersih tanpa noda sama sekali. Lantas, ya, hanya dengan tekad dan kesadaran iman. Itulah yang dulu, pada masa Nabi Saw. umat pengikutnya selamat dan selalu mendapati kemenangan.
Muhammad sanggup menempatkan diri sebagai pemimpin yang benar-benar sibuk sepanjang hari. Ia tidak tinggal diam membiarkan kezaliman. Muhammad merasa harus selalu menolong umat yang dipimpinnya, terutama kaum lemah, yang tertimpa masalah.
Saya bayangkan, andai Muhammad berhadapan dengan kaum tak berdaya seperti Gerwani dan kaum perempuan etnis Tionghoa pada abad ini, ia akan membereskan perkara mereka. Sebagaimana Muhammad menolong seorang pedagang kecil yang berselisih paham dengan Abu Jahal. Muhammad mengajak pedagang itu ke rumah Abu Jahal untuk menuntaskan perkara.
Ah, memang! Bulan Mei ini, peristiwa perkosaan dan penghancuran perempuan itu terus mengiang. Dan saya tak mendengar ada yang mempertanggungjawabkan perbuatannya. Atau kehadiran seorang pemimpin layaknya Muhammad dengan wajah murka dan si pedagang di sampingnya, sehingga Abu Jahal langsung membayarkan haknya.
Ya, Mei tahun itu, peristiwa perkosaan massal 1998, yang seolah mengulang ketakberdayaan perempuan pada 1965-1966 yang ditangkapi tanpa surat penangkapan. Dan kini, kekejian itu moga tak berulang!