Lantas, terbitlah gairah dalam diri Asad untuk turut mengembalikan kejayaan Islam. Ia berangan untuk menyusun penerjemahan Al-Quran dengan menelusuri makna-makna dari sumber-sumber tepercaya. Menelusurinya via kitab-kitab tafsir klasik dari para pendahulunya, juga mengulik pada mufasir modern, Muhammad Abduh. Dan, akhirnya dunia Islam patut bangga, Asad benar-benar mewujudkan angannya. Ia, sebelum tutup usia pada 20 Februari 1992, sukses menyuguhkan The Message of the Qur’an, kitab terjemahan dan penjelasan Al-Quran berbahasa Inggris, terbit di Gibraltar tahun 1980 (edisi bahasa Indonesia telah hadir berkat Penerbit Mizan, 2017).
Asad, yang berlatar sejarah, seni, dan filsafat, serta benar-benar merasai denyut suku dan bahasa Arab Badui, berhasil menghidangkan tafsir—meski Asad sendiri tak menyebutnya tafsir, tapi terjemahan dan penjelasan—yang memikat dan tetap bercita rasa sastra, sekaligus kaya dengan interpretasi rasional. Sekira kita baca awal surah Al-Baqarah, misalnya, kita tidak akan menjumpai “yang gaib” untuk terjemahan kata al-ghaib, tetapi Asad menerjemahkan menjadi “[adanya] hal-hal yang berada di luar persepsi manusia”. Atau kata “bertakwa” juga tidak kita jumpai karena Asad menerjemahkan istilah al-muttaqin menjadi “semua orang yang sadar akan Allah”.
Sehingga, dari The Message of the Qur’an inilah, saya menangkap Asad sebagai penjelas kitab suci yang rasional. Ia tidak larut dengan kisah-kisah yang sulit diterima nalar. Contoh peristiwa Isra dan Mikraj, perjalanan malam Nabi Saw. dari Makkah ke Yerusalem, dan perjalanan Nabi ke langit. Sebagian besar sahabat dan umat Islam pada umumnya percaya bahwa Nabi Saw diperjalankan secara ragawi menuju Yerusalem dan kemudian menuju langit. Namun, sebagian kecil saja sahabat—di antaranya ada nama ‘Aisyah, istri Nabi—yang menyatakan dengan tegas bahwa pengalaman Nabi itu murni bersifat ruhani. Muhammad Asad berdiri di kubu kecil itu. Asad meyakini Isra dan Mikraj terjadi hanya dengan jiwa beliau. Bukan peristiwa ragawi, juga bukan mimpi. Isra dan Mikraj adalah pengalaman ruhani. Dan pengalaman ini hanya akan menyapa kepada pribadi yang memiliki kesempurnaan ruhani yang luar biasa.
Juga, misalnya, tatkala Asad menjelaskan kata “api” yang dikaitkan dengan penciptaan iblis. Api adalah simbol nafsu. Sehingga iblis, dalam penjelasan Asad, sebagai kekuatan-kekuatan setani yang bergerak aktif dalam hati manusia. Kekuatan-kekuatan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu dan kecintaan yang tak terkendali terhadap diri sendiri. Iblis adalah induk dari segala yang hanya menganggap diri sendiri sebagai yang tinggi.
Begitulah Muhammad Asad. Pada tahun 1930 ia menikah dengan Munira binti Husain Al-Syammari, putri bangsawan Arab. Dan, dua tahun berikutnya lahirlah anak kedua, Talal, setelah anak pertama mereka meninggal saat lahir.
Pada 1932, tatkala hubungan dengan Raja Abdul ‘Aziz merenggang, Asad dan Munira, dengan membawa serta Talal, memutuskan pindah ke India dan menetap di sana dalam waktu yang cukup lama. Di anak benua India inilah, waktu itu masih dijajah Inggris, Asad semakin intim dengan Muhammad Iqbal. Saking intimnya, Asad berusaha mewujudnyatakan gagasan besar Iqbal, yang mengembuskan napas terakhir pukul 05.15 waktu setempat, 21 April 1938. Asad, setelah berdiri negara Pakistan, 1947, mengabdikan diri sebagai Direktur Rekonstruksi Islam dan Kepala Divisi Timur Dekat dan Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Pakistan. Muhammad Asad juga menjadi duta Pakistan di PBB.
Semenjak itu Muhammad Asad erat dengan gerakan pemikiran Islam di tanah jajahan Inggris, tidak saja dengan Muhammad Iqbal, tapi juga Sayyid Khan. Sehingga, tak aneh di kemudian hari Muhammad Asad disebut-sebut sebagai Sayyid Khan Eropa, terutama dalam menerjemahkan dan menafsirkan Al-Quran. Sayyid Khan, dalam sejarah gerakan pembaharuan, adalah orang India pertama yang meyakini perlunya penafsiran bebas, modern, dan maju atas Islam. Dan Muhammad Asad, lagi-lagi bisa kita cermati dari The Message of the Qur’an, juga menampilkan ide modernisme Islam secara utuh.