Sehingga tersebutlah bahwa Muharam bulan berkah. Namun, bagi sebagian umat, dan saya hadir di situ, Muharam merupakan bulan duka
MUHARAM, selain menandai berbagai peristiwa penting yang menggembirakan, saya lebih suka menghayatinya sebagai bulan duka cita.
Tinta sejarah telah merawat ingatan kita tentang tragedi pembunuhan yang tertuju pada cucu Rasulullah Saw., Sayidina Husen bin Ali. Kita mengenang sebagai tragedi Karbala, yang terjadi di wilayah 100 km sebelah barat daya Baghdad.
Tercatat dalam sejarah, Sayidina Husein, pada paruh lima puluhan, pada 9 September 680, bersama rombongan yang berjumlah 72 orang, terdiri dari 32 prajurit berkuda dan 40 orang pejalan kaki, sisanya anak-anak dan perempuan, berangkat dari Makkah menuju Irak.
Tujuannya jelas, Sayidina Husein hendak mengembalikan hak kekhalifahan ke tempat di mana seharusnya. Sebelumnya, yakni pada 22 April 680, Yazid dinobatkan sebagai khalifah, menggantikan ayahnya, Muawiyah.
Yazid, demi kewibawaan kekuasaannya, telah memerintah gubernurnya di Madinah untuk menangkap Sayidina Husein. “Ambil tindakan keras sehingga dia tidak ada kesempatan untuk melakukan apa pun, selain mengucap sumpah setia kepadaku di depan umum. Jika dia menolak, bunuh dia!”
Gubernur Madinah sepenuhnya tak kuasa untuk menunaikan perintah sang khalifah. Ia hanya memerintahkan agar Sayidina Husein segera menyingkir dari Madinah. Dan benar, dalam kegelapan malam, Sayidina Husein beserta semua kerabat keluarganya menghindari pantauan Khalifah Yazid, pindah dari Madinah menuju Makkah.
Namun, semenjak di Makkah, para utusan dari berbagai kota, termasuk dari Kufah, mulai berdatangan, menyatakan kesetiaan sekaligus meminta Sayidina Husein untuk merebut kekhalifahan dan memulihkan jiwa Islam. Menurut mereka, Yazid tak layak menjabat khalifah. Yazid terlampau brutal dan semena-mena kepada umat.
Sayidina Husein pun menyanggupi. Ia berbeda pandangan dengan almarhum kakaknya, Sayidina Hasan yang lebih mengutamakan keselamatan pengikutnya dan persatuan umat Islam.
Sayidina Husein sangat menyadari bahwa rombongannya berjalan lelah menuju Irak sebagai perjalanan menuju kematian. Karena ia berangkat dengan pasukan kecil yang ibarat semut untuk menentang kezaliman Yazid yang sudah berubah raksasa.
Dan benar adanya, targedi Karbala seperti takdir yang menuntun Sayidina Husein mesti terpenggal kepalanya di tangan pimpinan prajurit yang diutus Ubaidilah bin Ziyad, gubernur Kufah.
Ya, saat matahari terbit pada 10 Oktober 680, dari 72 prajurit tinggal Sayidina Husein yang masih hidup. Ia seusai mengucap selamat tinggal kepada anggota keluarganya yang wanita, berlari kencang di atas kuda putih menjemput maut di garis musuh.
Sayidina Husein, yang seorang diri, menyambut hujan panah yang beruntun dari 4.000 prajurit yang dipimpin Shimr. Prajurit infanteri itu mulai takjub dengan kegagahan Sayidina Husein yang justru tampak bahagia menjemput maut. Tanpa sadar, mereka tergiring mundur seperti gerombolan kambing yang dikejar serigala.
“Apa lagi yang kalian tunggu?” bentak Shimr kepada pasukannya. “Kalian itu anak manusia yang kencing seperti wanita! Bunuh dia, atau semoga ibu kalian malu punya anak kalian!”
Anak panah akhirnya menancap di bahu Sayidina Husein, dan dia pun terjungkal. Seketika pasukan Shimr mengepung dan membunuhnya. Ada 33 belati dan bacokan pedang di seluruh tubuhnya. Berasa belum puas dengan jenazah putra kedua Sayidina Ali itu, Shimr memenggal kepala sang pahlawan, yang diikuti pula oleh pasukannya untuk memenggal kepala seluruh prajurit Sayidina Husein.
Shimr tidak mengubur ke 72 mayat tanpa kepala itu, termasuk jenazah Sayidina Husein yang terbujur mengenaskan. Dibiarkan mereka terlantar di padang gurun dan menjadi rayahan serigala.
Dia memerintah pasukannya merantai semua tawanan wanita dan anak-anak dan menggiring mereka sepanjang perjalanan menuju Kufah. Sangat mudah dibayangkan, betapa para tawanan itu berjalan tersandung-sandung di belakang kepala Sayidina Husein yang digantung di pelana kuda, yang memang sengaja untuk menyurutkan nyali para wanita kerabat Nabi Saw.
Begitulah tragedi Karbala yang merupakan perseteruan antara khalifah masa itu, Yazid bin Muawiyah dan Sayidina Husen bin Ali.
Memang, sebagian umat Islam pada pemerintahan dinasti Umayyah itu merasa tidak puas dengan cara Yazid memimpin. Tetapi mereka juga tak kuasa untuk membantu perlawanan Sayidina Husein menentang ketidakadilan sang khalifah.
Tapi peristiwa Karbala telah terjadi. Dan menjadi aib tersendiri bagi sejarah Islam yang menuntun umat akan keberadaban. Dari situlah, saya memang bukan penganut Syiah, tetapi saya memahami bahwa selain bulan berkah, Muharam lebih tepat dihayati sebagai bulan duka cita.
Sebab, tepat pada 10 Muharam 61 H, hari Asyura 61 H, atau 10 Oktober 680 M, Sayidina Husein beserta 72 pasukan ditumpas secara biadab oleh pasukan Yazid bin Muawiyah di Kufah. Setelahnya, kerabat wanita dan anak-anak Sayidina Husein dipermalukan.
Sungguh duka mendalam yang tak terperikan. Sebuah pembantaian biadab yang terjadi dalam penggalan sejarah Islam di sebuah padang gurun, seolah mengikuti kebiadaban kisah kayu salib enam abad sebelumnya di dunia sejarah Nasrani.
Oleh karena itu, saya kurang tertarik dengan narasi Muharam sebagai bulan penuh berkah. Bagi saya Muharam adalah bulan duka, bulan penuh keprihatinan.
Saya tak menampik dengan narasi peristiwa atau kejadian mulia yang kerap disiarkan terjadi pada bulan Muharam. Kerap tersiar seperti halnya taubat Nabi Adam, berlabuhnya kapal Nabi Nuh di bukit Zuhdi, atau selamatnya Nabi Ibrahim dari siksa Namrud, Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara kerajaan Mesir.
Atau peristiwa Nabi Yunus selamat dan keluar dari perut ikan besar yang menelannya. Nabi Ayyub disembuhkan Allah dari penyakitnya. Atau pula peristiwa yang akan selalu terkenang, Nabi Musa dan umatnya, kaum Bani Israil, selamat dari pengejaran Firaun di Laut Merah.
Narasi-narasi tersebut, bukan soal benarnya peristiwa, melainkan keyakinan, terjadi pada bulan Muharam. Sehingga tersebutlah bahwa Muharam bulan berkah. Namun, bagi sebagian umat, dan saya hadir di situ, Muharam merupakan bulan duka.