“Sadewa, engkau lihat, bagaimana manusia berhadapan dengan wabah pandemi. Penyakit yang membuat ribuan orang meninggal. Seperti sebuah perang, tetapi musuh yang dihadapinya tidak tampak.”
“Entah Nakula, itu yang membedakan cara hidup kita dengan manusia. Kita bisa berubah wujud seperti manusia. Tetapi manusia tak mampu merubah wujud dirinya menjadi dewa.”
Sejak merebaknya wabah Covid-19, orang dihadapkan pada musuh yang tidak mampu dilihatnya dalam keterbatasan penglihatannya. Pertentangan batin dan pikiran, kemudian melahirkan rasa takut, cemas dan panik hingga pada pertentangan klimaks antara satu dengan yang lainnya saling mencurigai. Dalam situasi semacam ini, apakah pemikiran kapitalis mampu untuk menyelamatkannya!? Bisa iya, bisa tidak. Apa yang dihadapi adalah sebuah dimensi ruang ketidakpastian yang tidak bisa diukur secar matematis logika manusia.
“Sadewa, apakah engkau paham kapan pandemi itu berakhir?”
“Entah Nakula, sepertinya pandemi itu juga sudah hidup dalam pikiran mereka. Mungkin itu jadi penyakit. Tetapi bisa jadi juga itu sebuah cobaan. Cobaan yang diyakini sebagai sesuatu yang mempengaruhi hidup di peradaban samar.”
Virus Corona berjalan dengan kaki dan tangannya, tanpa takut siapa itu manusia yang mampu membangun kapitalis. Dan manusia pun, dimana-mana atas nama bangsa dan negara, berperang melawan virus ini. Sebuah pertempuran yang begitu dashyat hingga sudah memakan ribuan orang meninggal. Siapa yang menjadi panglima perang atau pemimpin bagi manusia? Jika pada garis depan, pasti berbaris dengan sekuat tenaga para tim medis dan relawan. Bisa jadi, perang ini menjadi perang yang “paling istimewa” bagi manusia.
“Nakula, apa kamu ingat waktu perang baratayudha?”
“Masih Sadewa, tapi itu sekarang hanya jadi cerita fiksi. Entah, karena perang itu berkesan atau mungkin juga perang itu hanya cerita dari mulut ke mulut. Kalau sekarang bisa jadi hoaks.”
“Masa kita dulu, mungkin hanya ilusi dan khayalan, Nakula. Kita tidak mengenal teknologi, seperti sekarang.”
“Entah Sadewa, tapi teknologi kita melebihi awan di langit. Artinya, mungkin kita jadi pencetusnya.”
Kekuasaan, sepertinya sudah bermakna “didewakan”, meski kita sendiri lebih suka disebut bermartabat dalam kodrat manusiawi. Bagaimana meraba konsep “dewa” pada zaman yang telah maju dan dikatakan zaman di atasnya modern. Para ahli, ilmuwan dan pakar menyebut dengan era yang sudah masuk era globalisasi. Semua instrumen banyak dikendalikan oleh alih teknologi. Nalar dan logika manusia seakan mampu menembus langit, hingga dalam kekuasaannya menjadi “seolah-olah seperti Tuhan”.