SETIAP kata, kalimat, ucapan, presentasi, jumpa pers atau pidato yang disampaikan bakal calon presiden Anies Rasyid Baswedan selalu bernilai dan penuh makna. Jauh sekali dari tutur penuh emosi seperti tudingan atau hardikan model seorang pejabat yang menuding Singapura “brengsek” dan Amerika “omdo”.
Anies setiap tutur kata selalu tertata. Dalam kondisi tidak normal sekalipun. Misalnya saat jumpa pers usai bertemu Ketua Umum Surya Paloh di Nasdem Tower beberapa saat setelah Sekjen Johnny Plate ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Anies berkata sangat terukur dan penuh makna. Seperti biasa ada ajakan, ada perenungan dan juga selalu terselip sindirin serta kritikan halus. Justru sindirin halus baik dengan bahasa verbal atau nonverbal, lawan langsung tersinggung dan bereaksi.
Ketika Anies dalam akun pribadinya memposting foto diri yang tengah membaca buku tentang utang, lawan politik dan netizen prorezim justru yang paling kencang berteriak. Mereka dengan berbagai dalih mengecam Anies. Bagi Anies tak perlu ditanggapi kecaman dan dan tudingan karena yang penting pesan sudah sampai.
Begitu pula ketika di Nasdem Tower saat seorang jurnalis menyatakan kemungkinan kasus Johnny Plate akan membuat elektabilitas Anies turun.
Menanggapi asumsi seorang wartawan dan mungkin dalam waktu beberapa hari akan diamini lembaga survei bayaran, Anies menjawabnya cukup santai.
Dikatakan Anies, “Kita sama sekali tidak bicara elektoral, kita bicara soal prinsip, kita bicara nilai, kita bicara tentang mengapa kita berjuang, mengapa kita mengambil jalur ini.”
Bagi Anies, ada yang lebih penting dibandingkan isu jegal-menjegal dan politik elektoral. Surya Paloh seorang nasionalis tidak akan terganggu gara-gara urusan sepele dibandingkan dengan kepentingan bangsa.
“Itu menjadi urusan remeh-temeh, urusan kita lebih besar daripada sekadar jumlah suara dan persentase,” kata Anies.
Menurut Anies, Republik ini tidak diatur, tidak dipikirkan lewat persentase. “Negeri ini dibangun dengan nilai, dengan gagasan, dengan keseriusan untuk memegang nilai itu, dan itu tadi kita bahas,” ujarnya.
Bangsa yang Tersesat
Para elite negeri ini sudah sesat pikir karena terus didoktrin dengan metodologi kualitatif. Semuanya dihitung dengan kuantifikasi, angka dan persentase. Dari mulai kemiskinan, kebahagiaan, kejujuran, kepuasan, keadilan yang sangat abstrak semuanya dibuat persentase.
Sampai ke urusan pemilu, kinerja pejabat publik sampai pemilihan pemimpin di semua level hingga kandidat orang nomor satu yang akan memimpin negeri ini diukur dengan statistik, persentase dan elektabilitas.
Padahal untuk menjaring seorang pemimpin persentase atau elektabilitas itu seperti dikatakan analis politik Rocky Gerung berada di urutan ketiga. Justru yang utama itu etikabilitas, kapasitas dan baru elektabilitas.
Etikabilitas jelas paling utama. Bagaimana arah dan nasib bangsa ini kalau calon pemimpinnya cacat moral seperti korupsi dan misalnya suka nonton film porno.
Kemudian kapasitas jelas ini terkait dengan kecakapan, rekam jejak, pengalaman dan jaringan internasional. Kalau dirangkum seorang pemimpin itu harus memiliki gagasan, narasi dan karya.
Nah, yang terakhir popularitas dan elektabilitas. Artinya, elektabilitas yang dilahirkan dua faktor: etikabilitas dan kapasitas. Bukan elektabilitas yang direkayasa lembaga survei orderan yang yang terus mempengaruhi publik dengan mempermainkan angka persentase.
Negeri ini pernah dipimpin oleh penguasa yang diatur oleh persentase dan elektabilitas. Masih mau coba lagi? Nggak kapok? [rif]