Tak hanya sesat terkait label emisi nol, kendaraan listrik juga tak akan menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta.
BARISAN.CO – Suharso Monoarfa Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan potensi kerugian negara akibat perubahan iklim sepanjang 2020 hingga 2024 mencapai Rp544 triliun.
Sejauh ini, bahan bakar fosil merupakan kontributor terbesar terhadap perubahan iklim global. Tak tanggung-tanggung, bahan bakar fosil berkontribusi lebih dari 75 persen emisi gas rumah kaca global dan hampir 90 persen dari seluruh emisi karbon dioksida.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut, saat emisi gas rumah kaca menyelimuti bumi, mereka memerangkap panas matahari. Inilah penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
Sementara, baru-baru ini, PJ Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mewajibkan pejabat eselon 4 ke atas di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk menggunakan kendaraan listrik. Arahan itu berdasarkan hasil rapat dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Jumat (18/8/2023) lalu.
Kendati ada imbauan untuk memprioritaskan penggunaan transportasi umum, Heru mempersilakan pejabat yang telah terbiasa menggunakan transportasi pribadi beralih ke kendaraan berbasis listrik.
Klaim Nol Emisi Kendaraan Listrik Tidaklah Benar
Meski, banyak kendaraan listrik (EV) yang diberi label “nol emisi”, klaim ini tidak sepenuhnya benar. Dilansir dari MIT Climate, mobil berbahan bakar baterai mungkin tidak mengeluarkan gas rumah kaca dari knalpotnya, namun sebagian emisi dihasilkan selama proses pembuatan dan pengisian daya kendaraan.
Sergey Paltsev Wakil Direktur Program Gabungan MIT untuk Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan Perubahan Global mengakui, kendaraan listrik memang pilihan dengan emisi lebih rendah dibandingkan mobil dengan mesin pembakaran internal.
“Kita tidak boleh mengklaim kemenangan karena dengan peralihan ke mobil listrik, masalah terpecahkan, kita akan mencapai nol emisi,” katanya.
Salah satu sumber emisinya dari pembuatan baterai litium-ion berukuran besar. Penggunaan mineral termasuk litium, kobalt, dan nikel, yang sangat penting untuk baterai modern, memerlukan penggunaan bahan bakar fosil untuk menambang bahan-bahan tersebut dan memanaskannya hingga suhu tinggi.
Akibatnya, pembuatan baterai litium-ion 80 kWh yang terdapat pada Tesla Model 3 menghasilkan antara 2,5 dan 16 metrik ton CO2. Jumlahnya sangat bergantung pada sumber energi yang digunakan untuk melakukan pemanasan).
Pembuatan baterai intensif ini berarti membuat kendaraan listrik baru justru menghasilkan emisi sekitar 80% lebih banyak dibandingkan membuat mobil bertenaga bahan bakar serupa.
Sumber utama emisi kendaraan listrik adalah energi yang digunakan untuk mengisi daya baterainya. Emisi ini, kata Paltsev, sangat bervariasi berdasarkan tempat mobil dikemudikan dan jenis energi yang digunakan di sana.
Skenario terbaiknya adalah seperti yang terjadi saat ini di Norwegia, pasar kendaraan listrik terbesar di Eropa. Norwegia memanfaatkan sebagian besar energinya dari pembangkit listrik tenaga air. Sehingga, menghasilkan jejak karbon yang sangat kecil bagi semua kendaraan listrik tersebut. Sedangkan, Indonesia masih bergantung dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.
Banyaknya kendaraan juga tidak akan mengakhiri masalah kemacetan di Jakarta. Tidak hanya banyak orang frustrasi gara-gara kemacetan. Hal ini juga mendorong pengembang justru membangun garasi dan pejabat publik menyediakan lebih banyak tempat parkir. Sehingga, menghabiskan lahan perkotaan yang langka dan berharga yang seharusnya bisa digunakan untuk taman atau fasilitas lainnya.
Nah, kalau sudah begini, sampai kapan pemerintah jor-joran mempromosikan kendaraan listrik ketimbang mendorong kalau perlu memaksa masyarakat beralih ke transportasi publik? [Yat]