Menjaga perasaan anak membuat saya jarang sekali menjemput Akram, anak bungsu ketika SD. Ada pengalaman yang kurang menyenangkan buat saya. Sesuai dengan urutan waktu pulang saat itu, saya menjemput Aya dulu di sekolahnya, baru menjemput Akram.
Di tengah ramainya murid-murid SD yang hendak pulang dan sedang bermain di jam istirahatnya, ada seorang guru yang menyapa kami. “Menjemput siapa, bu?” “Akram” jawab saya sambil menyuruh Aya dan Akram menyalaminya.
“Oooh, Ira dan Adli masih punya adik yang bersekolah di sini?” Saya sahuti “Iya, bu. Akram baru masuk kelas 1.” Melihat Aya yang tidak bersekolah di situ, dia bertanya, “Aya ini kelas berapa?” Ketika dijawab kelas 5 oleh Aya, guru itu bertanya kepada saya, “Bagaimana prestasi adiknya Ira dan Adli ini?”
Saya sempat khawatir dengan perasaan Aya. Saya pun segera menjawab,”Minatnya berbeda, lebih cenderung ke bidang seni. Aya lebih pintar menggambar daripada kakak-kakaknya dan sedang tertarik ke musik.” Untunglah ibu guru tidak memperpanjang pembicaraan tentang hal ini.
Anak-anak saya cukup sensitif jika dibanding-bandingkan. Adik-adiknya sering berpesan “Ummi, di sekolah jangan bilang-bilang kalau aku adiknya mbak Ira, yaa.” Saya mengerti bahwa mereka ingin dikenal sebagai pribadi tersendiri. Saya penuhi permintaan mereka tidak pernah menyebut nama Ira di depan guru maupun teman-temannya.
Tentu saja hal ini tidak bisa ditutupi selamanya. Ketika Aya ikut kegiatan pembinaan Olimpiade Biologi, ada guru pembina yang kenal keluaraga kami dan bahkan sering bercerita untuk motivasi ke anak-anak yang lain. Beruntung pada saat itu, Aya sudah punya minat dan prestasi sendiri. Saya tidak khawatir lagi akan soal identitas dan kepercayaan dirinya.
Keberuntungan bagi keluarga kami, semua anak punya prestasi di bidang sains. Namun, tetap saja saya dan suami berupaya tidak membandingkan antar mereka. Saya menyadari bahwa orang tua dengan beberapa anak yang berbeda prestasinya perlu lebih berhati-hati mendampingi mereka. [rif]