Scroll untuk baca artikel
Kisah Umi Ety

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Satu)

Redaksi
×

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Satu)

Sebarkan artikel ini

HUBUNGAN orang tua dengan anak tentu sangat dekat. Apalagi antara ibu dengan anak yang masih kecil. Namun, sejak awal sebaiknya pola hubungan banyak yang bersifat pendampingan.

Pensikapan orangtua sebagai pendamping anak berarti sikap orang yang ada di sisinya. Bukan di atas, di bawah, di depan ataupun di belakangnya. Bisa digambarkan dengan bersikap sebagai teman.

Dari sisi orang tua, pendampingan yang baik bercirikan dua sikap utama yang sering ditampilkan secara konsisten. Pertama, berempati terhadap masalah yang dihadapi anak. Kedua, mengapresiasi karya atau kinerja anak.

Langkah terpenting dari berempati adalah mendengarkan masalah dan keluhannya dengan penuh kesungguhan hati. Tidak hanya agar tampak bersikap begitu oleh anak. Orang tua memang harus benar-benar berusaha merasakan masalah yang dihadapi anak.

Orang tua sedapat mungkin mencoba melihat masalah dari sudut pandang anak, bukan semata dari sisi orang tua. Dukungan dan pemberian semangat diekspresikan dengan sepenuh hati. Orang tua boleh dan kadang memang harus memberi saran pemecahan masalah. Namun tetap disertai upaya memahami sudut pandang anak, bukan terkesan instruksi.

Kisah tentang Adli, anak kedua

Suatu ketika Adli yang masih kelas 5 SD diceritakan menangis lama di sekolah. Ternyata dia sedih karena harus belajar ke sekolah selama beberapa hari, padahal teman-temannya sedang libur. Rupanya karena dinilai punya potensi di bidang matematika, dia diminta mengikuti pembinaan di sekolah sebagai persiapan seleksi tingkat kecamatan.

Saya kemudian tahu pula bahwa surat pemberitahuan yang harusnya diberikan kepada orangtua, disobek Adli di depan gurunya. Beruntung ada ibu guru yang saat itu bisa memberi pengertian secara persuasif. Kurang lebih bu guru itu mengatakan, “Ibarat pisau, kalau tidak diasah akan tumpul. Kemampuan Adli juga demikian. Pembinaan matematika ini mengasah kemampuan Adli agar menjadi lebih tajam.” 

Meski tampak masih kesal, Adli mau mendengarkan dan menuruti. Dia memang sangat menikmati liburan atau bermain bersama kawan-kawannya. Beruntung ada beberapa teman dekatnya ikut pembinaan yang sama. Kebetulan, pembinanya juga merupakan guru yang dia sukai. Suasana pembinaan pun menjadi tidak seburuk yang dia bayangkan sebelumnya.

Kejadian dia menangis, merobek surat dan persuasi gurunya itu baru saya ketahui beberapa waktu kemudian. Saya diundang untuk menerima pemberitahuan lolosnya Adli untuk mengikuti seleksi olimpiade sain nasional (OSN) bidang matematika tingkat kabupaten. Konsekwensinya, Adli akan mengikuti pembinaan selama beberapa hari nantinya.

Pembinaan kali ini tidak dilakukan oleh pihak sekolah, melainkan oleh Kantor Dinas Pendirikan. Pembinanya terdiri dari beberapa orang guru atau dosen yang ditugaskan, bukan dari sekolah Adli. Peserta yang dibina sudah bercampur dengan anak-anak berbagai sekolah yang lolos seleksi. Mereka bukan kawan-kawan yang biasa bermain dengannya.

Sebagai ibunya, saya cukup mengerti karakter Adli, serta suasana apa yang tidak dinikmatinya. Dia akan sedikit tertekan dengan suasana belajar pasti berbeda jauh dengan ketika masih di sekolah. Belum lagi, besarnya harapan para guru dan pihak sekolah agar dia berprestasi mengangkat nama sekolahnya. Saya berupaya meningkatkan empati padanya, dengan membayangkan perasaan dan tekanan pada dirinya.

Pembinaan kala itu dilakukan cukup lama, dan bahan pelajarannya pun cukup banyak untuk anak SD. Saya selalu mengajak berbincang dengan Adli dengan suasana tidak menambah bebannya lagi. Saya dan abahnya hampir tidak pernah menyinggung soal target hasil, seperti apakah akan sampai OSN tingkat nasional, apalagi memperoleh medali. Lebih sering menanyakan siapa saja kawannya, siapa gurunya, disuguhi kue apa, dan semacamnya.