Oleh: Adung Abdul Haris, Pemikir dan Aktivis Dakwah
PADA Kamis, 1 Juni 2023, kita selaku bangsa dan negara, di hari yang sakral sedang memperingati hari yang amat bersejarah bagi ideologi bangsa kita, yakni memperingatan hari lahirnya Pancasila. Semoga di hari sakral tersebut, ideologi Pancasila, khususnya bagi seluruh pemangku kepentingan di negeri ini, agar mampu menangkap semangat dari rutinitas peringatan hari lahirnya Pancasila, utamanya di tahun 2023 dalam konteks kehidupan sehari-hari, kekinian dan kemoderenan, sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas kita masing masing selaku rakyat Indonesia.
Dalam konteks sejarah, terutama para pendiri bangsa ini (founding fathers) telah berhasil merumuskan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa dan negara. Para pendiri bangsa ini, juga telah berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi negara yang harus kita dipertahankan sampai kapanpun, yakni sebagai konsensus nasional.
Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa yang nota bene demikian majemuk. Sekalipun sudah dilakukan beberapa kali proses amandemen pada UUD 1945, terutama ketika di awal-awal era reformasi, namun Pancasila masih tetap utuh dan bangsa Indonesia tetap bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dengan rumusan yang ada sekarang ini, yakni: rumusan yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus tahun 1945.
Bahkan, ketika penulis ikut di acara Simposium dengan tema “Studi dan Relasi Lintas Agama Berparadigma Pancasila (Hari Kamis (10/09/2020). Di forum yang bersifat akademis dan ideologis itu sangat mengemuka, terutama dari subatansi maupun koneksitas kenegaraannya. Di forum Simposium itu penulis menangkap, bahwa Pancasila merupakan titik temu atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawa” bagi agama, suku, ras, dan golongan yang demikian beragam.
Di acara Simposium itu juga mengemuka, sebagai Ideologi negara, maka Pancasila merupakan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk sebagai hasil kesepakatan dari para pendiri bangsa. Sementara dalam bahasa Arab, bahwa kata kesepakatan itu disebut, “mitsaq”. Pancasila juga telah menjadi konsensus nasional atau dalam istilah bahasa Arab disebut “al-mitsaq al-watani”. Pancasila selain sebagai sebuah ideologi negara, juga merupakan perekat (pemersatu) bagi semua golongan pada masyarakat bangsa ini.
Sementara dalam konteks ajaran Islam, bahwa “mitsaq” atau kesepakatan itu juga sudah terjadi sejak dahulu, yakni ketika Rasulullah SAW sudah berada di Madinah. Lalu membuat suatu konsepsi kenegaraan, yakni dengan mengeluarkan Piagam Madinah. Bagi kita umat Islam Indonesia, bahwa “al-mitsaq al watani” atau “Piagam Madinah itu” menjadi spirit maupun inspirasi tersendiri khususnya bagi para pendiri bangsa. Karena butir-butir di dalam Pancasila ada kemiripan dengan apa yang ada di Piagam Madinah, dan itu artinya mempunyai landasan keagamaan dan kesejarahan yang kuat bagi umat Islam Indonesia, utamanya ketika sejarah terjadinya kesepakatan antara Nabi Muhammad SAW dengan kelompok-kelompok non-muslim di Madinah yang kemudian disebut dengan “Mitsaqul Madinah” atau yang leih populer hingga saat ini disebut Piagam Madinah”.
Al-Qur’an di dalam surat An-Nisa ayat 92 menegaskan, yang artinya “Apabila diantara kamu (umat Islam) dan sesuatu kaum (non-muslim) telah terjadi kesepakatan (al mitsaq), maka harus-lah untuk saling menjaga kesepakatan tersebut”. Dengan Pancasila sudah menjadi kesepakatan, maka Pancasila tidak boleh diganti dengan ideologi lain. Begitu juga dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak boleh diganti dengan sistem yang lain.
Mengingat akhir-akhir ini terkesan ada suara-suara sumir, yang konon katanya mencoba untuk mengutak-atik kembali soal Ideologi Pancasila. Upaya itu menurut hemat penulis, utamanya bagi (kelompok) yang ingin mengutak-atik soal Ideologi Pancasila itu, berarti sudah menyalahi kesepakatan nasional (mukhalafatul mitsaq).
Bahkan, dalam perjalanan bangsa Indonesia, yakni sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, memang ada pula pihak-pihak yang berupaya untuk mempertentangkan antara Pancasila dengan ajaran agama. Namun alhamdulilah, hingga saat ini Pancasila masih berdiri tegak, yakni sebagai ideologi bangsa dan negara. Lebih dari itu, penulis sendiri berkeyakinan, dan insya Allah setiap ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba ingin mempertentangkan agama dan Pancasila, tentunya tidak akan berhasil. Karena, Pancasila secara substantif memang tidak bertentangan dengan agama, dan bahkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila merupakan substansi dari nilai nilai ajaran agama.
Kemudian Pancasila juga sudah menjadi kesepakatan nasional (Konsensus Nasional). Manakala hingga saat ini masih ada orang atau kelompok yang mencoba mempertentangkan antara Pancasila dan agama, ternyata di internal orang atau kelompok itu memang sudah terjadi mispersepsi. Dengan kata lain, mereka memang mengalami mispersepsi atau telah terjadi salah pemahaman terhadap Pancasila maupun menafsirkan ajaran agamanya yang memang bersifat “rigit- Leterlijk ” alias kaku dan tidak moderat. Itulah faktanya, hingga hari ini memang masih ada yang berapologetik untuk terus mempertentangan Pancasila dan agama.
Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila
Sementara dalam konteks kekinian agar Pancasila terus eksis sebagai ideologi bangsa, maka menurut hemat penulis saat ini agar ada sebuah upaya yang bersifat komprehensif, yakni tidak boleh ada kelompok/orang, yang memaknai Pancasila itu tidak utuh, alias terjadi proses pemaknaan Pancasila yang bersifat parsialistik, yang wujud nyatanya masih ada oknum orang yang mempertentangkan antara satu sila dengan sila yang lain. Oleh karena itu menurut hemat penulis, diperlukan pemahaman Pancasila secara utuh sebagaimana yang dirumuskan dan dipahami oleh para pendiri bangsa ini.
Dengan pemahaman yang utuh itu, maka hal itu setidaknya akan mengeliminir orang-orang atau kelompok tertentu, yang mencoba menafsirkan, bahwa Pancasila akan didorong ke arah pemahaman yang menyimpang seperti ke arah yang bersifat sekularisme, liberalisme, komunisme dan lain sebagainya. Bagi kita umat Islam Indonesia, seyogianya agama juga harus dipahami secara moderat dengan tanpa mengorbankan ajaran-ajaran dasar agama dan sebaliknya, jangan sampai ajaran Islam didekati proses pemahamannya yang bersifa “rigit-Leterlijk ” dan hal itu akan melahirkan generasi muda yang esklusifiame, dan berujung pada radikalistik, ekstrem dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, bahwa Ideologi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memang sudah final. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, agar seluruh elemen bangsa dan negara ini, tentunya untuk segera menyudahi soal yang mempertentangkan (kontroversi) mengenai ideologi dan dasar negara ini. Sebab, kontroversi itu hanya akan terus terjadi monolog dan seolah-olah tidak ada dialog pada bangsa ini, dan itu sangat mubadir, tidak efektif dan bahkan tidak produktif bagi proses pembangunan bangsa dan negara, baik kini maupu dimasa yang akan datang.
Karena konsentrasi kita selaku bangsa dan negara saat ini, yakni bagaimana untuk mencapai suatu tujuan bangsa yang mulia, dan sebagaimana yang telah termaktub di dalam pembukaan UUD 1945. Yaitu, tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan itu menjadi panduan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Sekali lagi menurut hemat penulis, bahwa Pancasila sudah final, dan konsekuwensi logisnya, bagi seluruh warga bangsa ini tentunya harus menerima Ideologi Pancasila itu, dan jangan sampai ada yang masih tidak terima dan apalagi mau menggantinya.
Penulis juga agak miris, utamanya ketika melihat seolah-olah saat ini sudah terjadi “keterkoyakan kebinnekaan Indonesia”. Bahkan, gejala intoleran terkesan terus menyebul ke publik. Oleh karena itu, untuk mereduksi soal-soal yang bersifat keterkoyakan dan intoleransi itu, salah satu solusi altetnatifnya yang agak lebih tepat menurut hemat penulis, yaitu dilakukan suatu proses penanaman Ideologi Pancasila di internal lembaga kependidikan atau melalui jalur pendidikan. Yakni, yang mendorong proses pembangunan karakter pada anak bangsa ini dan sekaligus untuk menanamkan betapa pentingnya toleransi di tengah derasnya perbedaan pendapat di tengah-tengah masyarakat ktia saat ini.
Selain kaum terdidik, perlu juga peran para elite politik di negeri ini, dan apalagi saat ini sudah memasuki tahun politik dan sudah barang tentu eskalasi politiknya juga terus semakin memanas. Agar para elit politik di negeri ini, terus melakukan proses sublimasi politik, alias terus mendinginkan suasana politik agar sikap dan sifat sinisme (kecurigaan dan kebencian) di tengah-tengah masyarakat kita semakin mengecil dan bahkan menghilang. Dan sebaliknya, bagaimana di hari lahirnya Pancasila, kita semua untuk mencoba menjadikan diri kita masing masing, sebagai pribadi perekat dan terus melakukan kohesi sosial dan kebersamaan. [rif]