ALLAH menegaskan, sebagaimana QS. Al-Baqarah ayat 152, “ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.”
Nah, ingat kepada Allah itu ada dua model. Pertama, zikir bil lisan, yakni mengucapkan atau melafalkan kalimat-kalimat yang ada hubungannya dengan Allah, diistilahkan kalimah thoyyibah. Misal, baca Asmaul Husna, baca Al-Quran, dst.
Namun, berzikir dengan lisan ini merupakan zikir permulaan, yang diupayakan agar bisa menggapai zikir yang lebih tinggi. Maka, wajar saja sekiranya para ulama mengajarkan “sebutlah nama Allah” atau “basahilah lisan dengan menyebut asma Allah”, sebagai langkah awal dekat kepada-Nya.
Syekh Mutawali Sya’rowi mencontohkan, jika hendak minum, seyogianya meneguknya dengan empat tegukan. Dan di setiap tegukan yang pertama hingga ketiga melafalkan “bismillahi”, berikutnya “alhamdulillah” di tegukan terakhir, yang keempat.
Hal itu dilakukan, supaya tubuh ini terisi zikir. Karena air, yang telah beriring zikir, itu lebih cepat menyebar ke seluruh tubuh.
Kembali soal zikir lisan, hendaknya kita biasakan. Saking pentingnya, di mana kita berada, dan kapan saja, sebutlah nama Allah. Bisa dengan bacaan “subhanallah” atau lafal-lafal lain sebanyak-banyakknya. Sebab, setiap ucapan ini, kelak di hadapan Allah, akan dimintai pertanggungjawaban.
Maka, di mana saja, sambil berkendara motor, misalnya, lisan kita tak putus untuk baca surat-surat Al-Quran yang dihafal, atau tasbih, atau yang lain. Pun saat bersama orang lain, di pos ronda, di serambi rumah, dst, plihannya, ya, lisan ini sebanyak-banyaknya zikir, atau diam. Omong sesuatu upayakan yang bernilai zikir.
Imam Nawwawi mengemukakan, majlis zikir adalah majlis yang banyak menyebut nama Allah, subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illa Allah, dan Allah akbar. Majlis zikir adalah di mana ayat-ayat suci dibacakan, ayat-ayat Al-Quran dan sabda Nabi Saw. dijelaskan. Majlis yang senantiasa ada ajakan kepada kebaikan, dan begitu seterusnya.
Itu berarti, saat kita beromong-omong dengan kawan, entah berdua, bertiga, atau berapa pun, jika isinya mengandung nasehat-nasehat kebaikan, bisa dikategorikan majlis zikir.
Oleh karenanya, setiap bermajlis, hendaknya paling tidak ada bacaan alhamdulillah dan shalawat, agar terkategorikan zikir, dan majlis ini pun, oleh Nabi Saw., dikatakan berbau harum. Yang demikian, niscaya menenteramkan, niscaya menenangkan.
Kedua, ingat Allah di dalam hati, dalam pikiran. Bahwa sesuatu itu billah, minallah, dan ilallah. Sadar, kita melakukan sesuatu itu bukan lantaran kemampuan kita, melainkan semata anugerah Allah. Kita menjalankan shalat, kita bisa bersedekah, dan sebagainya, itu karena Allah.
Mumpung, karena zikir tidak dibatasi, tidak sebagaimana shalat yang terbatas, baik tempat maupun waktu, marilah berzikir sebanyak mungkin, di mana pun berada.
Saat beromong ria dengan siapa pun, hati ini tetap bersambung kepada-Nya. Seperti cerita Imam Ahmad yang tengah dikerjai tetangganya. Suatu hari Imam Ahmad diundang ke rumah tetangganya. Sesampai di sana, tetangganya bilang bahwa ia tak mengundangnya, maka pulanglah Imam Ahmad. Begitu terus sampai tiga kali.
Dan yang keempat kali, tetangganya penasaran, “Wahai Imam Ahmad, Njenengan saya akali, tetapi kenapa tampak biasa saja. Njenengan tidak marah. Njenengan tetap datang, walau kemudian saya suruh pulang lagi.”
“Anda,” jawab Imam Ahmad, “tidak usah bingung, tidak usah ge er. Saya datang ke tempat Anda bukan karena Anda. Saya ketemu Anda bukan karena Anda, melainkan Allah menakdirkan saya ketemu dengan Anda. Karena Rasulullah memerintahkan untuk menghormati tetangga.”
Maka, sedianya ketergantungan kita kepada makhluk itu harus diperkecil. Ketergantungan cukuplah kepada Allah. Itulah zikir bil qalb, zikir dalam hati.
Benar bahwasanya kita minta tolong pada seseorang, tetapi ujungnya, atau hati ini sadar bahwa Allah mengetahui kita. Allah-lah yang memerintahkan umat manusia untuk saling tolong-menolong, saling meringankan.
Jadi apa pun, kembalinya karena takdir-Nya. Kita dicaci maki, dimarahi orang, kita santai sekiranya menyadari Allah di balik itu semua. Allah telah menakdir hal itu terjadi, untuk menyapa atau menegur kita.
Sehingga, kesimpulan dari ayat 152 tersebut, pantaskan diri kita ini untuk mendapat anugerah dari Allah, berupa diingat Allah. Perlu dicatat, diingat Allah adalah anugerah tak terkira, lha wong diingat seseorang yang kita cintai saja sebegitu bahagianya, apalagi diingat oleh Dzat yang serbamaha.
Sekiranya menghendaki untuk diingat Allah, pantaskan diri untuk selalu mengingat-Nya, untuk memprioritaskan-Nya. Baik ketika sedih, ketika dalam bahaya, dalam masalah, maupun saat bahagia, saat berlimpah rezeki, saat mendapat kenikmatan, dan seterusnya.
Alhasil, pantaskan diri!