Buku Paradoks Keberagamaan bahwasanya penulisnya Mudjahirin Tohir sebagai sosok multikultural. Bahwa buku tersebut merupakan realitas keseharian yang ada disekitar kita.
BARISAN.CO – Tujuan akhir dari setiap pemeluk agama adalah tempat yang paling membahagiakan. Setiap agama menyebut tempat paling membahagiakan tersebut dengan berbeda, orang Islam menyebutnya jannah, bagi orang Hindu menyebutnya swarga, Yahudi menyebutnya Gan Eden atau Kristen menyebutnya heaven.
“Dengan demikian, toleransi beragama akan tercipta jika perbedaan istilah itu dipahami secara mendalam dengan menyertakan makna masing-masing agama,” ujar Mudjahirin Thohir dalam acara Suluk Senen Pahingan Edisi 21 di Pondok Pesantrean Al-Itqon Bugen, Kota Semarang, Minggu (9/07/2023) malam.
Penulis buku Paradoks Keberagamaan berharap masyarakat kembali pada sifat sebagai manusia yang menyukai kebaikan.
“Sebagaimana kaidah arab dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih bahwasanya mencegah kemudaratan lebih diutamakan dibanding menarik kemanfaatan,” terang Antropolog dari Universitas Diponegoro ini.
Mudjahirin Thohir mencontohkan narasi hubungan budaya dan agama Islam. Terutama adat-adat jawa yang memiliki simbol nilai.
Ia mencotohkan masyarakat Jawa pada bulan ruwah yang asal katanya dari kata arwah, jamaknya ruh. Pada bulan ini masyarakat jawa memanfaatkannya untuk berziarah dan mendoakan para arwah leluhur maupun berziarah ke makam para ulama atau wali.
“Kenapa yang didoakan para wali, bukannya para preman yang justru membutuhkan untuk didoakan akan selamat? Inilah simbol kebudayaan, bahwasanya disitu ada nilai yang lebih, ketika kita memberik makan akan mendapatkan lebih,” terang Mudjahirin.
Lantas, Mudjahirin mencotohkan seorang anak yang ulang tahun dengan kue yang harganya hanya sepuluh ribu rupiah.
Anak tersebut memiliki Bude yang kaya raya, lalu anak tersebut memberikan kue tersebut kepada Budenya. Kemudian Bude tersebut memberikan uang seratus ribu kepada anak tersebut dan mendoakan agar tersebut giat belajar dan menjadi anak yang pintar.
Bagi Bude, tentu kue seharga sepuluh ribu tidak berarti. Namun pemberian seorang anak kepadanya, memiliki nilai yang berarti baginya. Bahwa dirinya diberikan perhatian khusus.
Begitu juga dengan si anak, ia mendapatkan tambahan nilai yakni dengan hanya kue seharga sepuluh ribu ia mendapatkan balasan seratus ribu dan doa.
Ini sebagaimana konsep pahala dalam agama Islam. Barangsiapa bersedekah atau memberikan sesuatu kepada seseorang maka Allah swt akan memberikan balasan pahala akan dilipatgandakan.
Sementara, Ibnu Fikri menyorot buku Paradoks Keberagamaan bahwasanya penulisnya yakni Mudjahirin Tohir sebagai sosok multikultural. Bahwa buku tersebut merupakan realitas keseharian yang ada disekitar kita.
“Atau bisa jadi, beliau sedang menulis perilaku kita,” imbuh dosen UIN Walisongo Semarang ini.
Menurut Ibnu Fikri, Mudjahirin Tohir adalah sosok akademisi yang memiliki kedalaman ilmu yang telah sampai pada level tertinggi dalam sebuah kepakaran.
“Kepakaran beliau telah melampaui situasi yang muncul akhir-akhir ini tentang maraknya pemberian gelar professor sebagai capaian tertinggi di dunia akademik. Namun sayang kualitas keilmuan yang diberi gelar belum mencerminkan seorang pakar,” ujarnya.