Scroll untuk baca artikel
Blog

Parfum Langit Ketujuh – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Parfum Langit Ketujuh – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Kalau sudah kenyang mereka akan tidur berhari-hari, karena itu memang hidup mereka, selebihnya beranak-pinak. Anak-anak mereka bahkan melata di jalanan, dibiarkan tanpa perlindungan dan pengajaran yang selazimnya.

Dan dalam kemelataan seperi ini, kau tetap menyebarkan parfummu dengan maksud untuk menghilangkan kepedihan hatimu. Karena kau merasa terasing justru di rumah sendiri, di kota yang terus membangun kota.

Tersisih dan tersingkir, seperti yang kau katakan, kau lebih merasa di rumah sendiri di taman ini. Seperti ada berubuh dalam diam, seperti ada diam dalam kerinduan, seperti ada dendam dalam diam. Kemudian kau berlarian sambil berteriak, membuat ular-ular bersembunyi dalam liangnya.

Taman ini menjadi surga saat Adam dan Hawa terlempar ke dunia nyata. Dunia yang tidak pernah kau pahami, karena segala dibeli, segala dijual. Pun kau merasa harga dirimu terbeli dan terjual, untuk sesuatu yang pun tak bisa kau pahami.

“Mengapa kau lari dan berteriak?”

“Masih adakah cinta..?” tanyamu sambil terus berlari, ke ceruk taman, ke bukit taman, dan aku mengejarmu.

“Bukankah kita merasakan hal yang sama.”

“Apakah dirimu adalah diriku..?”

“Seperti yang aku bilang, aku merasa kau ada di tulang rusukku!”

“Tapi ini kota..!”

“Ini taman, sayangku!”

“Tapi taman ini ada di kota..!” pekikmu, “adakah cinta di tengah kota?”

“Kita ada di dalamnya, sayangku!”

“Jawablah, kota yang membangun cinta, atau cinta yang membangun kota..?”

Ah, aku melihatmu bagai bidadari, saat kau berlari keluar dari taman sambil terus bertanya. Dan aroma parfum bercampur mewangi apel menyebar di seluruh kota…..

Bahkan meninggi atas kota!

Aku simpan sosok wangimu yang tegar

Dalam Batas dengan dunia di luarmu

Batas antara mimpi dan kenyataan

SELALU aroma parfummu mewangi apel itu, sampai pun kau berhenti dan berdiri di tengah jalan raya. Dan begitu aku hampir mencapaimu, kau kembali lari sambil berteriak-teriak di tengah keramaian.

Di tengah keriuhan orang-orang, dan arus lalulintas yang padat dan sesekali macet. Mobil, bus, truk, ambulance, kontainer, bahkan panser atau tank baja, memenuhi jalan raya yang tinggal sebelah. Karena “belah duren” lain digunakan sebagai Trans Kota, meski sepedamotor nekad menerobos ke Busway itu.

Polisi mengatur arah lalu-lintas, tapi tetap saja peluit peringatan mereka tak mengurangi kamampatan. Termasuk hely polisi yang mengatur dari udara, karena mobil Presiden dan para Menteri terkurung dalam kemacetan itu.

Bersama asap knalpot mobil-mobil dan sirene meraung-raung di kejauhan. Entah sirene apa, mungkin ada kerusuhan atau pembunuhan. Tiba-tiba kau memanjat cergas satu menara, lalu berdiri tegak tengadah sambil merentangkan kedua tangan ke atas.

Dan mendadak aku lihat engkau berubah menjadi patung, patung yang melambangkan model parfum yang meneriakkan pembebasan setinggi langit.

Aku merasa ada batas tipis duniamu

Batas dengan dunia nyata di luarmu

Aku merasa ada senja yang tumbuh…***