Perempuan masih menjadi korban dari kekerasan hingga pembunuhan.
BARISAN.CO – Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada bulan April tahun 2022 dipandang menjadi sebuah peluang baik dalam perjalanan Indonesia menuju kesetaraan gender. Namun, amat disayangkan, pasca UU TPKS disahkan, tidak secara langsung dapat menyelesaikan masalah ketimpangan gender yang terjadi di Indonesia.
Memasuki tahun 2023, kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia yang sangat berdampak kepada perempuan dan kelompok marjinal lainnya masih terjadi. Ini dibuktikan oleh Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2022 yang menyebut, ada 339.782 perempuan di Indonesia yang mengalami KBG. Angka tersebut menjadi catatan terbanyak dalam 10 tahun catatan Komnas Perempuan dan hampir dua kali lipat jumlah kasus dari tahun 2013.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, terjadi pula kasus pembunuhan terhadap perempuan. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta pada tahun 2022 meluncurkan Catatan Femisida (Pembunuhan Perempuan) yang menunjukkan, realita pengalaman hidup perempuan di Indonesia masih sangat jauh dari kata aman.
Untuk tahun 2022 saja, setidaknya 289 perempuan, termasuk transpuan dan anak perempuan, dibunuh di Indonesia karena identitas mereka sebagai perempuan.
Dian Novita, Koordinator Perubahan Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta menekankan, disahkannya UU TPKS tidak akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan apabila tidak adanya peraturan pelaksana yang membantu penegak dan perangkat hukum lainnya untuk melaksanakan UU TPKS secara menyeluruh.
Sedangkan, Riska Carolina dari Konsorsium CRM menyampaikan, pemerintah harus dapat mengajak masyarakat untuk ikut menghentikan stigma dan diskriminasi terhadap perempuan dengan ragam identitas, kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya.
“Maka dari itu, perlu adanya legislasi anti-diskriminasi yang komprehensif untuk melindungi seluruh kelompok rentan di Indonesia,” katanya dalam rilis yang diterima Barisanco, Rabu (17/5/2023).
Senada dengan Riska, Echa Waode dari Arus Pelangi mengungkapkan, Perda (Peraturan Daerah) diskriminatif, khususnya yang ditujukan untuk mendiskriminasi kelompok marjinal dan minoritas harus dibatalkan.
“Pemerintah seharusnya membentuk legislasi anti diskriminasi yang komprehensif, bukan sebaliknya. Sikap ini justru menghancurkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan,” tuturnya.