Pemberdayaan masyarakat berprespektif theologis, berbasis research dan teknologi informasi adalah merupakan upaya yang prosesnya bertujuan untuk pembelajaran dalam mengatasi masalah, pemenuhan kebutuhan masyarakat, produksi ilmu pengetahuan dan sekaligus juga memandu proses perubahan sosial keagamaan yang membebaskan.
MASYARAKAT adalah sebuah kompleksitas individu dan kelompok yang terdiri dari berbagai kepentingan dan seringkali berbenturan. Pada dasarnya, interaksiyang terjadi dalam internal masyarakat sendiri merupakan suatu hubungan kekuasaan antara kekuatan kelompok–kelompok sosial yang ada.
Jika ditarik dalam hubungan yang lebih makro, hubungan kekuasaan juga terjadi dalam hubungan antara masyarakat dengan negara. Relasi kekuasaan yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan negara seringkali menimbulkan banyak persoalan seperti persoalan keadilan dan asas kemerataan yang tidak dirasakan oleh setiap warga negara karena berbagai faktor, seperti kebijakan negara yang bias kepentingan, suku, ras, gender, agama, kelompok agama, kelas ekonomi serta afiliasi politik masyarakat.
Secara sederhana, keadilan dapat dimaknai sebagai keseimbangan antara pemberian hak dan pemenuhan kewajiban. Dalam hubungan masyarakat dan negara, parameterkeadilan di ukur dari kesamaan, kesempatan dan perlakuan negara terhadap masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan berkaitan dengan kedudukannya baik sebagaiindividu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat.
Ada hubungan timbal balik yang bersifat mutualisme antara negara dengan masyarakat. Masyarakat diwajibkanuntuk memenuhi kewajiban yang tertuang dalam ketentuan dan peraturan negara, sedangkan masyarakat berhak memperoleh haknya sebagai warga negara dan sebagai manusia. Dengan demikian, akan terjadi hubungan yangsinergis diantara keduanya.
Memang terdengar sebagai sebuah hal yang utopis ketika kita mulaimembicarakan masalah keadilan bagi setiap orang dan keinginan untuk menciptakankeadilan itu sendiri sehingga keadilan tersebut dapat dinikmati oleh setiap orang.
Namun, bukan pula suatu hal yang mustahil karena bisa jadi hal tersebut sangatmungkin untuk dapat diwujudkan dalam perikehidupan sehari-hari, sebab bagi orang-orang yang beragama memperjuangkan keadilan adalah tuntutan atas keimanan seseorang itu sendiri. Seseorang belum dikatakan beriman jika belum menegakkan keadilan.
Disamping itu bagi mereka yang beragama, usaha untuk selalu berubah kepada keadaan yang lebih baik adalah juga bagian dari tuntutan nilai keimanan seseorang itu sendiri. Itu artinya perubahan kepada keadaan yang lebih baik adalah energi hidup yang ada di setiap individu manusia.
Pada umumnya, ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat mewujud dalam bentuk kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, kesenjangan sosial, keterkungkungan politik dan berbagai masalah ketidakadilan lainnya.
Dan dalam mensikapi realitas tersebut masyarakat terbelah dalam dua pendapat utama. Pertama, golongan yang berpendapat bahwapersoalan yang terjadi adalah kesalahan internal, yaitu kesalahan yang berasal dari dalam diri manusia atau masyarakat itu sendiri. Dimana masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memajukan kesejahteraannya sendiri sebagai manusia padahal kesempatan sudah ada.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa persoalan ketidakadilan yang terjadi adalah sebagai akibat dari sistem dan struktur yang tidak adil. Mansour Fakih menyebut keadaan ini sebagai proses dehumanisasi yang terjadi baik secara represif maupun menggunakan sistem dan struktur yang ada. Dehumanisasi inilah yangmenyebabkan timbulnya berbagai macam persoalan ketidakadilan dan lemahnya penegakan Hak-hak Asasi Manusia.
Dan secara alamiah setiap individu manusia akan merespon setiap keadaan tersebut dengan berbagai cara. Kita semua paham bahwa respon manusia terhadap keadaan di sekitarnya tidak akan terlepas dari pengaruh pemahaman keagamaannya, pemikiran yang melingkupinya, latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, politik,budaya, dan lain sebagainya.
Keadaan di sekitar kita sering pula didefinisikan sebagai realitas sosial. Bagi kebanyakan orang realitas sosial memang seringkali dianggap terjadi begitu saja adanya.
Namun begitu realitas sosial sebenarnya adalah hasil dari sebuah rekayasa sosial yang siapapun dapat saja menciptakan realitas sosial sekaligus melakukan perubahan atau rekayasa di dalamnya. Untuk itulah diperlukan kesadaran kritis untuk memahami realitas sosial yang melingkupi kehidupan kita sehari-hari.
Namun begitu seringkali kesadaran kritis manusia itu justru terkangkangi oleh ideologi-ideologi atau keyakinan palsu yang mengeram di dalam nalar manusia itu sendiri, seperti, ideologi kapitalistik atau sosialisme atau bahkan keyakinan agama yang fatalistik.
Manusia tidak menyadari kenyataan yang sebenarnya sedang dan akan terjadi. Sebagai contoh, bagaimana seseorang dalam melihat pembangunan dan modernisasi yang terjadi di Indonesia yang tidak hanya sekedar menjadi jargon politik yang digembor-gemborkan pemerintah, tetapi juga sudah menjadi semacam keyakinan bagi setiap rakyat Indonesia.
Diskursus yang dibangun selama ini adalah bahwa pembangunan dan modernisasi diyakini sebagai solusi dari berbagai krisis yang melanda negeri ini. Sehingga modernisasi telah dianggap sebagai obat mujarab untuk menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik
Pada masyarakat Indonesia, modernisasi di segala bidang telah membawa konsekuensi logis ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik secara ekonomi,politik, hukum, lingkungan hidup dan sosial-budaya.
Disisi lain, modernisasi juga telah membuat masyarakat merasa nyaman berada dalam kemapanan yang diciptakan oleh sebuah atau beberapa sistem dan struktur yang melingkupinya. Kemapanan itu tentu saja telah membuat manusia kehilangan daya kritisnya
Realitas sosial pada saat ini dapat dikatakan hanya mengikuti pola perubahan yang telah didesain oleh negara. Atau dengan kata lain, masyarakat hanyalah objek perubahan sosial.
Selain negara, pasar (market) dan teknologi informasi sebenarnya juga berperan penting dalam membentuk realitas sosial sekaligus juga mendorong terjadinya perubahan sosial di Indonesia. Sebagaimana sudah disampaikan di atas, perkembangan teknologi informasi pada hari ini tak dapat dinafikan dari proses pembentukan realitas sosial itu sendiri.
Secara objektif perkembangan teknologi informasi telah menjelma menjadi kekuatan penentu dalam pembentukan realitas sosial saat ini. Namun meski demikian sebenarnya masyarakat juga dapat mengambil peran dalam proses perubahan sosial itu sendiri.
Pada umumnya, mereka diorganisir oleh organisasi yang mewakili mereka dalam melakukan perubahan sosial. Organisasi-organisasi ini yang dinamakan dengan Organisasi Non Pemerintah (ORNOP). Dalam era Orde baru ornop lebih dikenal dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Dan semenjak reformasi, pola pendekatan perubahan sosial pun mengalami metamorfosis. Lembaga pendorong perubahan sosial tidak lagi menjadi monopoli ketiga aktor di atas tetapi yang terjadi adalah dengan mengetengahkan pendekatan kolaborasi atau harmoni.
Bagi para aktivis LSM, karena posisi antara negara, pasar, korporasi dan masyarakat selalu tidak seimbang maka LSM lebih banyak mengambil peran advokasi bersama masyarakat. Dan semenjak reformasi itu pula peran negara pun bergeser menjadi fasilitator, sumber biaya dan sumber inovasi dalam pencapaian tujuan program.
Begitu pula yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi dengan sumber daya terdidik dan inovasi teknologinya. Dan semenjak reformasi itu pula kolaborasi antara perguruan tinggi, pemerintah, LSM dan masyarakat dibantu oleh perkembangan teknologi informasi dalam transformasi sosial mendapat momentumnya.
Mengapa Pemberdayaan Masyarakat?
Tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan memang telah membawa kemajuan ekonomi, namun demikian pembangunan juga membawa dampak ketimpangan yang semakin melebar, kerusakan lingkungan yang semakin parah, konflik budaya, konflik perebutan sumber daya, menurunnya kualitas kehidupan manusia, dan semakin terancamnya keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri.
Di sisi yang lain terjadi pula Semakin lemahnya institusi negara dalam melindungi dan melayani hak-hak rakyat, terutama rakyat lemah (powerless). Hak petani, buruh, nelayan, dan masyarakat miskin terkalahkan dengan kepentingan pemilik modal.
Di bidang politik dan demokrasi masih kita rasakan aroma formalisme dan pragmatisme politik, sehingga hakekat demokrasi belum tercapai Bahkan masih sangat terasa sekali betapa lemahnya penegakan hukum, korupsi, kolusi dan nepotisme yang merebak di berbagai lini kehidupan sehingga mengancam keberlangsungan negara.
Di aras kepemimpinan saat ini masyarakat merasakan betapa semakin merosotnya kualitas kepemimpinan baik kepemimpinan formal maupun kepemimpinan agama. Kepercayaan masyarakat kepada pemimpin terus semakin merosot akibat komitmen moral, etika politik, dan keteladanan tidak nampak pada para pemimpin tersebut.
Jika kita potret secara mendalam Praktek Keberagamaan masyarakat pun terasa hambar, dimana masih sangat kental dengan nuansa tekstual dan simbolik (ritual) belaka. Situasi ini bisa mengarahkan kepada pemahaman yang menumbuhkan perilaku fundamentalis bahkan radikalis.
Praktek-praktek keberagamaan yang demikian itu ternyata tidak dapat memberikan inspirasi dan pencerahan terhadap kontek problem kehidupan sosial masyarakat. Sehingga dibutuhkan Praktek keberagamaan yang mampu menciptakan komitmen moral yang kuat, rasional, dan spiritual sebagai landasan bagi penyelesaian aneka masalah kehidupan sosial umat.
Di sisi yang lain kuatnya paradigma normatif dalam keilmuan Islam dan terbatasnya kajian-kajian kritis sosial keagamaan, ditengarai juga menyebabkan rendahnya produksi ilmu pengetahuan sosial keagamaan yang emansipatoris.
Menilik berbagai hal di atas tampaknya pembicaraan tentang pemberdayaan masyarakat masih selalu relevan untuk diperbincangkan dan sekaligus dijalankan dengan segala inovasinya.
Bagaimana pemberdayaan Berperspektif Theologis, Berbasis Riset dan teknologi informasi?
Pemberdayaan masyarakat telah lama menjadi perbincangan dan dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia sejak dekade tahun 70an. Dari tahun ke tahun selalu diadakan pembaharuan terhadap metode, model, praktek dan bahkan paradigmanya. Semuanya memiliki ketepatan baik yang bersifat praktis maupun filosofis. Pada tulisan ini, penulis tidak akan menguraikan keunggulan atau kekurangan dari masing-masing model yang telah ada.
Sejak bergulirnya reformasi, terjadi reposisi yang signifikan dari LSM(termasuk di dalamnya adalah ormas keagamaan), perguruan tinggi, pemerintah dan korporasi.
Diantara keempat aktor perubahan itu terdapat pula teknologi informasi yang sangat mempengaruhi posisi masing-masing pihak. Selain itu pola pendekatan perubahan sosial juga mengalami perubahan dari top down menjadi bottom up dengan mengetengahkan kolaborasi bukan konflik. Melihat perubahan yang sedemikian radikal ini maka konsep pemberdayaan masyarakatpun harus disesuaikan. Dimana harus pula dipertimbangkan adanya gejala tumbuhnya radikalisme agama dan kekuatan teknologi informasi.
Pada hakekatnya pemberdayaan masyarakat adalah upaya transformasi sosial menuju tatanan yang berkeadilan. Sedangkan pemberdayaan masyarakat berprespektif theologis, berbasis Research dan teknologi informasi adalah merupakan upaya yang prosesnya bertujuan untuk pembelajaran dalam mengatasi masalah, pemenuhan kebutuhan masyarakat, produksi ilmu pengetahuan dan sekaligus juga memandu proses perubahan sosial keagamaan yang membebaskan.
Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat berprespektif theologis, berbasis Research dan teknologi informasi sekaligus merupakan sarana untuk membangkitkan kesadaran kritis secara kolektif atas adanya belenggu-belenggu dari keyakinan palsu dari pemahaman agama dan ideologi tertentu serta belenggu yang berasal dari pemahaman keagamaan normatif yang menghambat proses transformasi sosial keagamaan itu sendiri.
Pemberdayaan dengan model ini sesungguhnya merupakan proses riset yang berorientasi pada pemberdayaan dan perubahan sekaligus. Sebab kegiatan pemberdayaan yang dilakukan merupakan: (1) Sebuah proses peningkatan kapasitas diri pada kelompok masyarakat marginal. (2) Proses dari, oleh dan untuk masyarakat. Posisi masyarakat didampingi/difasilitasi dalam mengambil keputusan dan berinisiatif agar lebih mandiri dalam mengembangkan kualitas kehidupannya.
(3) Menempatkan masyarakat beserta institusi-institusinya sebagai kekuatan dasar bagi peningkatan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama. (4) Upaya melepaskan berbagai bentuk dominasi budaya, tekanan politik, eksploitasi ekonomi, dan hegemoni institusi agama yang membelenggu dan menghalangi upaya masyarakat dalam menentukan cara hidup dan meningkatkan kualitas kehidupannya.
(5), proses riset dilaksanakan dengan upaya sistematis, kolaboratif, dan berkelanjutan dalam rangka menciptakan transformasi sosial. (6) Menempatkan teknologi informasi sebagai alat intervensi, advokasi, membentuk pasar dan jaringan serta meningkatkan dukungan publik.
Prinsip Kerja Pemberdayaan Berperspektif Theologis, Berbasis Riset dan Teknologi Informasi
Prinsip kerja pemberdayaan model ini adalah : (1) pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah praktis masyarakat. (2) pengembangan ilmu pengetahuan dan keberagamaan masyarakat yang membebaskan. (3) proses perubahan sosial keberagamaan yang kontekstual dengan jamannya. Dengan demikian maka masyarakat adalah agen utama dalam perubahan sosial keagamaan, sehingga pemerintah dan perguruan tinggi atau LSM hanyalah merupakan pihak lain yang melakukan fasilitasi dari proses perubahan tersebut.
Oleh sebab itu, para fasilitator harus menghormati peran utama masyarakat. Fasilitator dan masyarakat harus saling bahu membahu secara partisipatif untuk melakukan perubahan sosial.
Pemberdayaan berperspektif theologis, berbasis riset dan teknologi informasi ini adalah cara pendekatan dan bukan solusi dari setiap persoalan yang terjadi pada masyarakat. Karena pemberdayaan adalah upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat dari sifat ketergantungan pada pihak lain. Apabila masyarakat telah berhasil membangun kemandirian maka perubahan sosial akan terjadi dengan sendirinya.
Paradigma pemberdayaan masyarakat berperspektif theologis, berbasis riset dan teknologi informasi ini dimulai dengan sesuatu yang sederhana dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Selanjutnya mengembang dalam skala kelompok-kelompok masyarakat yang pada akhirnya mencapai titik skala masyarakat luas.
Oleh sebab itu, potensi apapun yang ada dalam masyarakat semestinya digunakan sebagai alat perubahan itu sendiri. Baik potensi agama, budaya, sumberdaya manusia (pengalaman hidup, kecerdasan dan kearifan lokal),dan sumberdaya alam yang dimiliki oleh komunitas masyarakat.
Sehingga dengan demikian pemberdayaan berperspektif theologis, berbasis riset dan teknologi informasi dengan sendirinya merupakan proses transformasi situasi sosial,termasuk keberagamaan masyarakat melalui kekuatan kolektif mereka sendiri. Maka fasilitator dengan pemberdayaan model ini harus dapat mendorong partisipasi dan kontrol masyarakat secara konsisten, sehingga sampai pada memunculkan kemampuan kekuatan masyarakat secara maksimal dan memperkecil ketergantungan mereka pada pihak lain.
Pada galibnya ilmu pengetahuan lokal dan kearifan tradisional merupakan alat perubahan yang efektif untuk menciptakan kemandirian masyarakat. Oleh sebab itu, pendekatan multi sektor, multi disiplin dan interkoneksi merupakan cara yang dilakukan dalam pemberdayaan model ini.
Bukan saja pendekatan bagi tim atau fasilitator pemberdayaan, tetapi juga oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya, dialog kritis harus diutamakan. Tim pemberdayaan model ini tidak diperkenankan menggurui dan harus menghindari pendekatan doktrinal yang cenderung memaksakan masyarakat.
Secara rinci prinsip-prinsip kerja pemberdayaan model ini terurai sebagai berikut. Pertama,Memungkinkan kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang tertindas memperoleh cukup pengaruh (leverages) yang kreatif dan transformis seperti terungkap dalam proyek-proyek, kegiatan-kegiatan dan perjuangan-perjuangan yang bersifat khusus. Pekerjaan ini biasa disebut dengan poverty mainstreaming dan sensitif kemiskinan.
Kedua,Menghasilkan dan membangun proses-proses pemikiran sosio-politik yang dapat dijadikan sarana untuk mengidentifikasi basis-basis kemasyarakatan. Yang dimaksudbasis-basis kemasyarakatan disini adalah kelompok -kelompok potensial yang dapat didorong dalam proses perubahan sosial.
Ketiga, mengembangkan riset secara bersama-sama. Seperti PRA (Participatory Rural Appraisal), PAR (Participatory Action Research) dan ABCD (ASSET-BASED COMMUNITY DEVELOPMENT) haruslah dikerjakan secara bersama antara fasilitator perubahan sosial dengan komunitas. Yang dimaksud bersama-sama di sini adalah kerjasama (kolaborasi).
Kolaborasi adalah semuayang memiliki tanggung jawab atas tindakan perubahan sosial dilibatkan dalam upaya-upaya meningkatkan kemampuan mereka. Kelompok kerjasama itu secara terus-menerus diperluas dengan melibatkan secara langsung sebanyak mungkin mereka yang terkait dengan persoalan yang dihadapi.
Keempat, berpihak kepada komunitas yang paling tidak berdaya. Sering kali program-program pengembangan komunitas tidak melibatkan masyarakat yang terabaikan. Meskipun secara retorika politik, program tersebut disusun di atas derita masyarakat terabaikan ( mereka ditulis sebagai sasaran pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, tetapi tidak pernah disentuh).
Kelima, menjamin terjadinya Penemuan kembali Sejarah secara Kritis. Hal ini merupakan upaya untuk menemukan kembali secara selektif, melalui ingatan bersama, elemen-elemen masa lalu yang telah terbukti berguna dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan kelas-kelas yang diekspoitasi dan yang bisa dipergunakan dalam perjuangan masa kini untuk meningkatkan penyadaran. Pola ini umumnya dikenal dengan belajar dari pengalaman.
Keenam, menilai dan Menerapkan Kebudayaan Masyarakat. Hal ini didasarkan pada pengakuan dan pemahaman terhadap nilai-nilai yang essensial dan utama di kalangan masyarakat di setiap daerah.
Ketujuh, partisipasi selalu dimulai dari suatu yang kecil dengan perubahan skala kecil. Setelah kelompok sosial dan individu dapat mengelola dan mengontrol perubahan tersebut, kemudian bekerja menuju pada pola perubahan yang lebih luas.
Kedelapan, memulai dengan proses siklus perencanaan, tindakan, evaluasi dan refleksi dalam skala kecil sehingga dapat membantu orang yang terlibat dalam merumuskan isu-isu, gagasan-gagasan, pandangan-pandangan, asumsi-asumsi secara lebih jelas. Sehingga mereka dapat merumuskan pertanyaan yang lebih powerful untuk situasi diri mereka sendiri demikian pula perkembangan kerjakerja mereka.
Kesembilan, membangun mekanisme “kritik diri komunitas” (self-critical communities) dari orang-orang yang berpartisipasi dan bekerjasama dalam proses riset yakni perencanaan,pelaksanaan, evaluasi, dan refleksi. Hal ini dimaksudkan untuk membangun orang-orang yang peduli terhadap proses pencerahan (enlightening) diri mereka sendiri atas pola hubungan antara keadaan, tindakan, dan konsekuensi, begitu pula untuk membebaskan (emancipating) diri mereka dari belenggu-belenggu kelembagaan dan personal yang membatasi kekuatan mereka untuk hidup lebih manusiawi di atas nilai-nilai sosial yang mereka pilih dan yakini.
Kesepuluh, proses pencerahan dalam melahirkan kesadaran kritis. Kesadaran kritis ini harus terjadi terhadap kedua belah pihak, baik orang yang melakukan pencerahan dan komunitas yang tercerahkan.
Sepuluh prinsip kerja ini merupakan bagian-bagian yang tidak terpisah, menyatu menjadi sebuah kerja kolektif antara tim pemberdayaan masyarakat dengan komunitas.
Mereka secara kolaboratif membangun pengetahuan untuk tindakan sosial dan perubahan sosial. Tindakan sosial dan perubahan sosial ini dimulai dari munculnya kesadaran kritis antara tim pemberdayaan dan komunitas atas pengetahuan situasi sosial yang terjadi. Dengan demikian diantara mereka terbangun usaha melakukan analisis untuk melakukan gerakan sosial, memecahkan secara teknis persoalan-persoalan mendasar yang menimpanya.
Dari sini tumbuh pengetahuan-pengetahuan baru baikyang bersifat teknis maupun non teknis. Proses yang demikian ini merupakan proses membangun pengetahuan komunitas yang lebih sahih, karena pengetahuan tidak didominasi oleh pihak peneliti atau fasilitator pemberdayaan, tetapi dibangun secara bersama-sama.
Strategi Pemberdayaan model ini harus dimulai dengan tindakan mikro yang memiliki konteks makro/global. Strategi ini dikenal dengan istilah think globaly act localy. Tindakan mikro dimaksud adalah penyelesaian masalah-masalah kecil yang memiliki konteks mendasar dan terkait dengan konteks makro.
Oleh sebab itu strategi ini dilaksanakan dengan pendekatan penguasaan-penguasaan pengetahuan teknis masyarakat, sehingga masyarakat secara langsung merasakan proses keterlibatannya dalam perubahan sosial yang dibangun oleh tim pemberdayaan ini.
Strategi berikutnya adalah fasilitator yang terdiri dari berbagai pihak bersama masyarakat membangun kelembagaan komunitas yang fungsional dan berkelanjutan. Kelembagaan ini memilikifungsi strategis dalam menciptakan kekuatan kolektif dan untuk menyelesaikan beberpa persoalan yang melilit masyarakat.
Dengan kelembagaan ini akan terbangun proses belajar bersama sekaligus menciptakan kesadaran kolektif, karena ada proses pemahaman keagamaan yang transformatif. Dengan kelembagaan tersebut juga menjadi wadah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan penguasaan dan pengelolaan serta kontrol terhadap sumberdaya alam dan manusia (terutama sumberdaya ekonomi).
Bahkan pengembangan sektor ekonomi strategis mampu digerakkan dari kelembagaan komunitas yang telah dibangun ini, tentunya ekonomi strategis yang sesuai dengan kondisi lokal (daerah).
Danstrategi selanjutnya adalah membangun jaringan ekonomi strategis yang berfungsi untuk mengembangkan kerjasama dalam mengatasi keterbatasanketerbatasan baik dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. Pada aspek inilah introduksi teknologi informasi sangat dibutuhkan.
Pemberdayaan model ini jika mampu menyentuh bidang tersebut di atas secara langsung, maka hasilnya akan dirasakan oleh masyarakat, karena memang persoalan kebanyakan masyarakat adalah terkait dengan kebutuhan ekonomi. Keberhasilan ini dilanjutkan dengan perluasan kawasan dan kewilayahan yang menekankan pada aspek kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki masyarakat.
Namun begitu strategi-strategi ini sifatnya tidak kaku, menyesuaikan dengan kondisi komunitas. Hal ini karena prinsip pemberdayaan model ini adalah menghargai pengetahuan lokal, mengurai sejarah komunitas, sekaligus menghargai perbedaan persepsi dan strategi yang diinginkan masyarakat. Maka strategi bisa berubah, tetapiprinsip kerja tetap harus dijadikan pedoman.
Daur Gerakan Sosial melalui pemberdayaan berperspektif theologis, berbasis riset dan teknologi informasi
Adapun daur gerakan sosial dalam proses perubahan komunitas yang sesuai dengan model pemberdayaan ini adalah sebagai berikut : Pertama, pemetaan Awal (Preleminary mapping),yaitu tahap awal untuk memahami komunitas, sehingga fasilitator akan mudah memahami realitas problem dan relasi sosial yang terjadi.
Dengan demikian akan memudahkan masuk ke dalam komunitas baik melalui key people (kunci masyarakat) maupun komunitas akar rumput yang sudah terbangun, seperti kelompok keagamaan (yasinan, tahlilan, masjid, mushalla). Kelompok kebudayaan (kelompok seniman, dan komunitas kebudayaan lokal). Kelompok ekonomi (petani, pedagang, pengrajin).
Kedua, membangun hubungan kemanusiaan, yaitu dengan cara fasilitator melakukan inkulturasi dan membangun kepercayaan (trust building) dengan masyarakat, sehingga terjalin hubungan yangsetara dan saling mendukung. Sehingga fasilitator yang terdiri dari para pihak dan masyarakat bisa menyatu menjadi sebuah simbisis mutualisme untuk melakukan riset, belajar memahami masalahnya, dan memecahkan persoalanya secara bersama-sama (partisipatif).
Ketiga, penentuan Agenda Riset untuk Perubahan Sosial, yaitu fasilitator bersama komunitas mengagendakan program riset melalui teknik Partisipatory Rural Apraisal (PRA) atau teknik yang lain yang dianggap sesuai untuk memahami persoalan masyarakat yang selanjutnya menjadi alat perubahan sosial. Dalam proses ini fasilitator dan masyarakat juga merintis membangun kelompok-kelompok komunitas, sesuaidengan potensi dan keragaman yang ada.
Keempat, pemetaan Partisipatif (Participatory Mapping) Dalam kelompok-kelompok komunitas tersebut, fasilitator menfasilitasi proses belajar dengan bersama untuk melakukan pemetaan wilayah. Pemetaan ini akan dihasilkan sebuah gambaran umum kondisi geografis, social, sumber daya fisik dan sosial serta persoalan yang dialami masyarakat.
Pemetaan biasanya sebagai langkah awal dari memahami kondisi masyarakat. Dari pemetaan ini dilanjutkan dengan identifikasi masalah masyarakat melalui teknik-teknik PRA yang lain, seperti Transekt, DiagramVen, Diagram Alur, kalender musim, kalender harian, alur sejarah komunitas, dan lain-lain. Fasilitator dapat juga melanjutkan dengan pemetaan aset dan relasi para pihak di dalam komunitas.
Kelima, merumuskan Masalah Kemanusiaan, yaitu bahwa komunitas merumuskan masalah mendasar hajat hidup kemanusiaan yang dialaminya. Seperti persoalan pangan, papan, kesehatan, pendidikan, energi, lingkungan hidup, dan persoalan utama kemanusiaan lainnya. Teknik yang mudah untuk merumuskan persoalan ini biasanya dengan analisis pohon masalah (hirarki masalah),yang selanjutnya dibuat analisis pohon tujuan.
Selanjutnya dilengkapi dengan teknik matrik rangking sebagai langkah untuk memilih prioritas persoalan mana yang akan diselesaikan lebih dahulu.
Keenam, menyusun Strategi Gerakan, yaitu komunitas menyusun strategi gerakan untuk memecahkan problem kemanusiaan yang telah dirumuskan. Menentukan langkah sistematik, menentukan pihak yang terlibat (stakeholders), dan merumuskan kemungkinan keberhasilan dan kegagalan program yang direncanakannya serta mencari jalan keluar apabila terdapat kendalayang menghalangi keberhasilan program. Penyusunan strategi gerakan ini merupakan langkah penting untuk pemecahan masalah. Langkah mudah untuk menyusun gerakan ini adalah dengan teknik mengelola program yang berbentuk Logical Framework Approach (LFA).
Ketujuh, pengorganisasian Masyarakat Yaitu bahwa komunitas didampingi fasilitator membangun pranata-pranata sosial. Baik dalam bentuk kelompok-kelompok kerja, maupun lembaga-lembaga masyarakat yang riel bergerak memecahkan problem sosialnya secara simultan. Demikian pula membentuk jaringan-jaringan antar kelompok kerja dan antara kelompok kerja dengan lembaga-lembaga lain yang terkait dengan program aksi yang direncanakan.
Kedelapan, melancarkan Aksi Perubahan, yaitu bahwa aksi memecahkan problem dilakukan secara simultan dan partisipatif. Program pemecahan persoalan kemanusiaan bukan sekedar untuk menyelesaikan persoalan itu sendiri, tetapi merupakan proses pembelajaran masyarakat, sehingga terbangun pranata baru dalam komunitas dan sekaligus memunculkan community organizer (pengorganisir dari masyarakat sendiri) dan akhirnya akan muncul local leader (pemimpin lokal) yang menjadi pelaku dan pemimpin perubahan.
Kesembilan, membangun Pusat-pusat Belajar Masyarakat, yaitu pusat-pusat belajar dibangun atas dasar kebutuhan kelompok-kelompok komunitas yang sudah bergerak melakukan aksi perubahan. Pusat belajar merupakan media komunikasi, riset, diskusi, dan segala aspek untuk merencanakan, mengorganisir dan memecahkan problem social.
Oleh sebab terbangunnya pusat-pusat belajar merupakan salah satu bukti munculnya pranata baru sebagai awal perubahan dalam komunitas masyarakat. Bersama masyarakat pusat-pusat belajar diwujudkan dalam komunitas-komunitas kelompok sesuai dengan ragam potensi dan kebutuhan masyarakat.
Seperti kelompok belajar perempuan petani, kelompok perempuan pengrajin, kelompok tani, kelompok pemuda, dan sebagainya. Kelompok tidak harus dalam skala besar, tetapi yang penting adalah kelompok memiliki anggota tetap dan kegiatan belajar berjalan dengan rutin dan terealisir dalam kegiatan yang terprogram, terencana, dan terevaluasi. Dengan demikian kelompok belajar merupakan motor penggerak masyarakat untuk melakukan aksi perubahan.
Kesepuluh, refleksi (Teoritisasi Perubahan Sosial), Yaitu bahwa fasilitator yang terdiri dari para pihak bersama komunitas merumuskan teoritisasi perubahan sosial. Berdasarkan atas hasil riset, proses pembelajaran masyarakat, dan program-program aksi yang sudah terlaksana, fasilitator dan komunitas merefleksikan semua proses dan hasil yang diperolehnya(dari awal sampai akhir).
Refleksi teoritis dirumuskan secara bersama, sehingga menjadi sebuah teori akademik yang dapat dipresentasikan pada khalayak publik sebagai pertanggungjawaban akademik.
Kesebelas, meluaskan Skala Gerakan dan Dukungan, Yaitu bahwa Keberhasilan program pemberdayaan model ini tidak hanya diukur dari hasil kegiatan selama proses, tetapi juga diukur dari tingkat keberlanjutan program (sustainability) yang sudah berjalan dan munculnya pengorganisir-pengorganisir serta pemimpin lokal yang melanjutkan program untuk melakukan aksi perubahan. Oleh sebab itu, bersama komunitas fasilitator memperluas skala gerakan dan kegiatan.
Mereka membangun kelompok komunitas baru di wilayah-wilayah baru yang dimotori oleh kelompok dan pengorganisir yang sudah ada. Bahkan diharapkan komunitas-komunitas baru itu dibangun oleh masyarakat secara mandiri tanpa harus difasilitasi oleh fasilitator. Dengan demikian masyarakat akan bisa belajar sendiri, melakukan riset, dan memecahkan problem sosialnya sencara mandiri.
Secara teknis introduksi teknologi informasi dapat ditempelkan pada semua daur tetapi secara manajerial dikendalikan di daur kesebelas ini. Harapannya melalui introduksi teknologi informasi, peran fasilitator pada akhirnya akan sedikit terkurangi dan bahkan memiliki tingkat intervensi yang lebih luas skalanya.
Daur gerakan yang demikian sifatnya terus berputar dan bekelanjutan. Oleh karena itu, pelaksanaan pemberdayaan model ini tidak bisa dilaksanakan hanya dalam satu atau dua kali kegiatan, melainkan terus berkesinambungan. Program diharuskan berkelanjutan, terpadu, dan tersistem, sehingga sampai ada titik transformasi sosial.
Oleh karena itu, target waktu tidak bisa dipastikan. Yang bisa dipastikan hanya target program. Karena itu dalam waktu jangka pendek target tujuan program bisa dipastikan tercapai atau tidak. Akan tetapi kalau target perubahan sosial tidak bisa ditentukan kapan bisa dicapai, tergantung pada kualitasdan intensitas proses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pada komunitas.
Lalu apakah peran fasilitator yang terdiri dari berbagai pihak tersebut? Berdasarkan atas pola daur gerakan di atas, maka peran para pihak adalah menjadi fasilitator, animator, inisiator, dan catalisator komunitas dampingan, bukan pihak yang paling dominan. Peran fasilitator harus berdasarkan pada etika lokal, sehingga mereka menjadi bagian dari masyarakat dan terbangun hubungan yang humanis.
Peran sebagai fasilitator adalah peran dalam menciptakan proses yang dapat membantu masyarakat mendiskusikan dan merefleksikan situasi sosial kehidupannya dan keberagamaannya secara kritis, mengidentifikasi dan merumuskan isu masalah, mengidentifikasi solusi dan menyusun perencanaan, mengatasi masalah, memonitor, dan mengevaluasi program aksi.
Peran animator merupakan peran dalam menciptakan proses yang dapat membantu masyarakat menemukan dan mendayagunakan potensi keswadayaannya untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Termasuk didalamnya mendorong masyarakat berfikir kritis, memiliki kepedulian, berbagi informasi, dan memunculkan gagasan-gagasan baru.
Peran inisiator (enabler) adalah upaya menciptakan proses yang dapat membantu masyarakat berinisiasi secara bebas dan kreatif untuk mengembangkan agenda-agenda program sosial keagamaan dilingkungannya sebagai bagian dari proses perubahan sosial, serta mengurangi ketergantungan melalui penciptaan kerjasama program aksi dan pendidikan sosial keagamaan.
Adapun peran sebagai katalisator (catalyst) merupakan peran menciptakan proses yang dapat membantu masyarakat mengorganisasikan gagasan dan sumberdayanya, serta membangun pola hubungan kerjasama (partnership) dengan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam maupun di luar masyarakat tersebut. Termasuk menyelesaikan konflik-konflik di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Penutup
Menerapkan Pemberdayaan berperspekktif theologis, berbasis riset dan teknologi informasi memang tidak mudah, namun usaha penerapan perlu diujicobakan bagi para pihak yang merasa terpanggil untuk melakukan perubahan sosial dan hendak berkolaborasi.
Peningkatan kualitas pemahaman tentang metodologi dan keterampilan menguasai dasar-dasar riset aksi perlu terus diusahakan oleh yang hendak terlibat dalam pemberdayaan model ini. Usaha peningkatan itu bisa dilakukan melalui pelatihan-pelatihan, diskusi, workshop antar para pihak atau lembaga yang dianggap kompeten.
Bagi perguruan tinggi yang terlibat akan lebih baik jika materi-materi tentang riset aksi dapat dijadikan sebagai mata kuliah, sebagai mata kuliah utama atau mata kuliah pilihan, sehingga ketika mahasiswa atau civitas akademik yang lain terlibat dalam pemberdayaan dengan pendekatan kolaboratif dapat langsung diterapkan.
Di sisi yang lain kebijakan pemerintah daerah yang menyasar pada pemberdayaan masyarakat perlu diperkuat dengan kebijakan yang lebih berpihak. Baik kebijakan yang terkait dengan struktur kelembagaan, peningkatan kapasitas lembaga, maupun anggaran. Sehingga pemberdayaan masyarakat model ini dapat memaksimalkan kerja-kerjanya.
Dengan demikian pemberdayaan masyarakat akan dapat terlaksana dengan lebih sistematis, terprogram dengan pasti, dan berkelanjutan, sehingga eksistensi pemberdayaan masyarakat di mata masyarakat akan memiliki makna yang lebih baik, dibanding selama ini yang hanya dianggap sebagai formalitas belaka.