Khadijah yang telah mendampingi Muhammad selama 15 tahun, paham betul dengan karakter suaminya.
KHADIJAH sungguh luar biasa. Ia sanggup menenangkan suaminya yang tesergap perasaan khawatir yang nyaris merenggut akal sehatnya.
Ketika Muhammad bilang bahwa dia telah kerasukan jin dari Gua Hira, Khadijah menggelengkan kepala, “Tuhan pasti menyelamatkanmu dari kegilaan, Sayangku.”
Dan dia peluk suaminya sampai matahari terbit. Tatkala kepala Muhammad memberat di atas pangkuannya, ia menggesernya pelan-pelan di tempat tidur. Lantas ia berbenah dengan kerudungnya, dan keluar menghirup udara pagi menemui Waraqah, sepupunya.
Di hadapan sepupunya yang seorang hanif itu, Khadijah menceritakan kondisi suaminya yang ketakutan seusai dari laku menyepinya di Gua Hira.
“Jika yang kau katakan itu benar, Khadijah, maka yang muncul di hadapan Muhammad adalah roh agung yang pernah muncul di hadapan Musa. Katakan kepadanya agar berteguh hati, karena dia benar-benar nabi umat ini.” tanggapan Waraqah.
Khadijah bergegas balik ke rumah di mana Muhammad masih terlelap di atas tempat tidur. Pelan-pelan ia pandangi wajah tampan suaminya dengan sepenuh takjub. Ia makin mengagumi, kian menyayangi.
Tebersit di benaknya, manakala mengingat pesan sepupunya, tugas mahaberat telah menanti suaminya. Tugas untuk membimbing umat manusia. Dan itu serasa mustahil, meski sadar Muhammad dikenal sebagai pemuda yang baik, sangat tepercaya, tetapi latar belakang kanak-kanaknya adalah gambaran hidup seseorang yang bukan penghela umat.
Muhammad adalah anak laki-laki yang tersisih ke pinggiran. Lahir sebagai yatim yang tak mengantongi harta warisan. Kemudian ia menjadi seorang bocah Badui yang hidup pas-pasan di tengah terik gurun.
Selanjutnya, Muhammad berkarir sebagai duta niaga yang terbilang sukses, tapi sama sekali ia tak berpikir akan menjadi seorang pemikir radikal baik mengenai Tuhan maupun masyarakat. Tak tebersit bakal menantang secara langsung tatanan sosial dan politik yang sudah mapan di Makkah.
Ya, Muhammad, sesosok yang bukan siapa-siapa, sosok yang remeh, tapi kemudian menjadi manusia yang berpengaruh sepanjang masa.
Namun, sekali lagi, Muhammad tak punya bayangan akan seperti apa nantinya. Dan saat Waraqah meramalkan bahwa Muhammad bakal terusir dari tanah airnya, suami Khadijah itu tak bersangka akan menemu kesulitan.
Dan benar kata Waraqah, Muhammad seperti menjadi orang asing di tengah keluarga besar Bani Hasyim. Saat ia mengundang keluarga besarnya untuk mendengar seruannya, para kerabat berhamburan dari rumahnya sambil menggeleng-geleng kebingungan. Mereka tak habis pikir apa yang mengendap di benak suami Khadijah itu.
Mereka memang terpesona dengan yang dibacakan Muhammad. Tetapi, mereka lebih heran dengan pikiran mereka sendiri, apa yang dikejar Muhammad setelah berhasil sebagai wakil perniagaan, bahkan telah menikahi seorang saudagar wanita terkemuka Makkah? Apakah ia masih berlaku layaknya bocah pengurus unta? Atau penggembala kambing?
Namun, sementara paman Muhammad dan anggota Bani Hasyim lainnya yang lebih tua menulikan mereka terhadap permohonan Muhammad, Khadijah justru sebaliknya. Ia benar-benar seorang istri yang mulia.
Khadijah yang telah mendampingi Muhammad selama 15 tahun, paham betul dengan karakter suaminya. Muhammad adalah pria pembelajar yang sedari kecil lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Perkataannya biasanya singkat dan terkendali. Sehingga akan terdengar runtut.
Tetapi seusai dari Gua Hira, Khadijah menyadari betapa luar biasa kata-kata yang meluncur dari bibir suaminya. Masih dalam pelukannya, dan dengan terbata-bata, kata-kata dari suaminya itu lebih dia rasakan ketimbang dia dengar.
Dan saat itu, saat Muhammad masih gemetar dalam pelukan Khadijah, ia merasakan suaranya: kata-kata puitis yang sudah diembuskan kepadanya di atas pegunungan siap diembuskan keluar.
Itulah wahyu pertama Al-Quran, yang berwujud dalam kata-kata yang enak serta dapat diperdengarkan kepada manusia lain. Dan Khadijah menjadi pendengar pertama.
Namun demikian, saya tetap membayangkan betapa pun Muhammad sudah mendapatkan peyakinan dari istrinya, sebagai manusia biasa, tentunya ia tetap bergulat dengan dirinya. Bagaimana kata-kata Ilahi itu datang menjenguk dirinya?
Kata-kata yang dia sendiri tidak pernah bisa merumuskannya. Kata-kata yang telah diberikan kepadanya itu adalah kemudian kata-katanya sendiri, atau kata-kata Tuhan? Apakah suara Tuhan ada dalam dirinya, menjadi bagian dari dirinya? Apakah firman Tuhan benar-benar ditanamkan di dalam dirinya, atau apakah suaranya sendiri menjadi suatu ungkapan dari firman Tuhan?
Ah, apa pun itu, toh nyatanya Muhammad adalah orang yang menjadi perantara firman Tuhan. Dan Khadijah menjadi sang penyejuk hati, yang pertama-tama dengan sepenuh keyakinan mengiyakan wahyu.
Khadijah adalah pendengar pertama setelah kata-kata Tuhan meluncur dari lisan manusia pilihan Tuhan dan pilihan hatinya.