PETA politik menjelang Pemilu 2024 mendadak heboh setelah Ketua Umum PKB bermanuver. Ia melobi ketua umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Endingnya Muhaimin mendapat restu Nasdem untuk menjadi Calon Wakil Presiden pendamping Anies Rasyid Baswedan.
Apa yang aneh? Apa yang salah?
Semua ternyata baik-baik saja. Kehebohan hanya milik orang-orang yang mengurus partai politik.
Buktinya sederhana, mbak Siti di kampung saya tetap berjualan pecel. Paklik Karto tetap berjualan kelapa di pasar Bangetayu Semarang.
“Ini kelapa turun sedikit. Sekarang dua puluh lima ribu mendapat empat butir bonus diparutkan,” kata Paklik Karto.
Jelas sekali kehebohan hanya pada orang yang mengurusi partai politik. Mulai menyatakan dikhianati, menceritakan pengalamannya berkompetisi di panggung politik, dan mengajak warga partainya bersabar dan bersyukur.
Saya kemudian mencoba menemui Presiden keenam yang sekarang menjadi tokoh Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Saya temui beliau ketika sedang membaca setumpuk buku. Tapi saya curiga dengan beberapa buku kumpulan puisi.
Alasan saya jelas, suka gaya ngomongnya yang puitis, mengingatkan pada sosok kurus dengan foto menghisap kretek yang posenya terbaik di dunia, Chairil Anwar.
Selamat siang Pak SBY. Semoga keluarga selalu sehat. Oh iya, saya dari Semarang yang menggambar batik Lawang Sewu saat bapak berkunjung tahun 2009 lalu.
Selalu bersyukur meskipun situasi sedang menyejukkan kening, dahipun tidak. Ini situasi politik.
Baiklah pak, apa yang hendak bapak sampaikan setelah kejadian panjang yang melelahkan di partai politik?
Kalau sampai waktuku, kumau tak seorangpun kan merayu. Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata. Kaulah sekarang yang berkata.
Ini sudah mulai wawancara pak, boleh saya kutip semua yang disampaikan bapak dari puisi Chairil Anwar?
Mari kita putuskan kini di sini.
Sebelum membahas Pilpres 2024 dan politik terkini, sebetulnya apa sih pekerjaan presiden di Indonesia?
Menerang-jelaskan saja, sambil menganjurkan, sekali-sekali menyatakan pengharapan.
Ini seperti waktu zaman bapak jadi Presiden ya?
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi.
Tapi banyak yang mengulang-ulang jalan yang sama. Bahkan sudah berkali-kali maju dalam kontestasi pilpres dan selalu gagal. Mengapa?
Karena hidup hanya menunda kekalahan.
Bagaimana situasi bangsa menjelang Pilpres 2024?
Dunia badai dan topan jadi ke mana? Untuk damai dan reda? Mati. Barangkali ini diam kaku saja. Dengan ketenangan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka. Kekebalan terhadap debu dan nafsu. Berbaring tak sedar. Seperti kapal pecah di dasar lautan.
Jemu dipukul ombak besar. Atau ini. Peleburan dalam Tiada. Dan sekali akan menghadap cahaya.
Ini bangsa baru bisa bilang ‘aku’.
Mengapa bapak menjadi sentimental menyikapi pak Anies yang akhirnya berpasangan dengan Cak Imin?
Kita terapit, cintaku. Di teras rumah makan kami kini berhadapan. Baru berkenalan. Cuma berpandangan. Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam. Masih saja berpandangan.
Kaca jernih dari luar segala nampak. Kulari dari gedong lebar halaman. Aku tersesat tak dapat jalan. Kemah kudirikan ketika senjakala. Di pagi terbang entah ke mana
Adakah pesan untuk para kader partai Demokrat yang terbakar emosi dan merasa dikhianati?
Mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak. Sudah! Tidak jadi apa-apa!. Ini dunia enggan disapa, ambil perduli. Keras membeku air kali. Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali. Sambil bertutup telinga, berpicing mata. Menunggu reda yang mesti tiba
Tapi menyebalkan kadang terlalu berlebihan dalam bersikap.
Baik juga kita padami unggunan api ini. Karena kau tidak ‘kan apa-apa. Aku terpanggang tinggal rangka.
Di pasar baru mereka. Lalu mengada-menggaya. Mengikat sudah kesal. Tak tahu apa dibuat. Jiwa satu teman lucu. Dalam hidup, dalam tuju.
Saya suka gaya bapak menjawab pertanyaan saya dengan puisi-puisi Chairil Anwar. Saya yakin apa yang bapak ucapkan akan berpengaruh besar.
Jangan lagi kau bercerita, sudah tercacar semua di muka. Nanah meleleh dari luka, sambil berjalan kau usap juga.
Lalu bagaimana dengan pencalonan pak Anies Baswedan?
Kita musti bercerai. Sebelum kicau murai berderai. Terlalu kita minta pada malam ini. Darah masih berbusah-busah.
Kita musti bercerai. Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai. Dua benua bakal bentur-membentur. Merah kesumba jadi putih kapur.
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Bagaimana dengan Muhaimin Iskandar?
Orang menyebut satu nama jaya. Mengingat kerjanya dan jasa. Melecut supaya terus ini padanya.
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga.
Jadi mana yang lebih baik?
Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Maksudnya Golput?
Kita jalani ini jalan.
Baiklah. Setelah merasa dikhianati, adakah pesan untuk pak Anies?
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju. Jangan tambatkan pada siang dan malam. Keridlaanmu menerima segala tiba.
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah? Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia.
Saya tak paham maksud sebenarnya, tapi kapan kita mulai maju kalau tiap pemilu bertengkar terus?
Kita—anjing diburu—hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang.
Kapan kira-kira sandiwara berhenti?
Ketika orkes memulai ‘Ave Maria’.
Bukan ketika anak-anak muda memimpin negeri?
Aku suka pada mereka yang berani hidup. Apa yang kubentang-beberkan bukan untuk menghalangi ciptaan kita bertingkat-tingkat juga. Maksudnya: ada yang jelek, sedang, bagus.
Baiklah. Mari kita ngobrol soal lain.
Mulutmu nanti habis bicara. Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan. Pena dan penyair keduanya mati. Berpalingan! Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.
Apakah obrolan kita berhenti sampai disini saja?
Jangan kita di sini berhenti. Kami rasa bahagia ‘kan tiba. Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan dan di negeri kelabu yang berhiba penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.
Aku kira beginilah nanti jadinya: Kau kawin, beranak dan berbahagia, sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Kalau datang nanti topan ajaib menggulingkan gundu, memutarkan gasing memacu kuda-kudaan, menghempas kapal-kapalan. Aku sudah lebih dulu kaku.
Kita bangkit dengan kesedaran. Mencucuk menerawang hingga belulang. Kawan, kawan. Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!
Baiklah bapak, terima kasih obrolan kita siang ini. Selamat siang bapak, mohon pamit.
Segala tak kukenal. Selamat tinggal!