PUBLIK akhir akhir ini dikagetkan dengan rilis di media tentang jumlah gaji Komisaris dan Direksi Pertamina yang ternyata jumlahnya sangat fantastis. Komisaris dan Direksi gajinya hingga lebih dari 1 trilyun rupiah per tahun.
Menurut Laporan Keuangan Pertamina tahun 2022, gaji yang dibayarkan kepada komisaris dan direksi adalah masing-masing sekitar 358,5 miliar rupiah dan Rp 702,67 miliar rupiah.
Setiap komisaris rata rata mendapatkan Rp 100,3 miliar per tahun atau sekitar Rp 8,3 miliar per bulan. Setiap direksi mendapatkan Rp 59,7 miliar per tahun atau sekitar Rp 4,9 miliar per bulan. Belum lagi jika ditambah bonus, tantiem, insentif lainya yang jumlahnya juga hingga milyaran rupiah per orang.
Sementara itu, gaji karyawannya dengan jabatan terbawah sebut saja seorang Office Boy di kantor Pertamina Jakarta, gajinya hanya standard Upah Minimum Regional (UMR). Angkanya sebesar Rp 4.901.798 per bulan. Jika dikalikan satu tahun maka sebesar 58,8 juta rupiah atau sebutlah 60 juta rupiah per tahun.
Jadi, jika angkanya diperbandingkan dengan gaji seorang komisaris dengan Office Boy di Pertamina maka besaranya menjadi 1,666 kali lipat. Angka yang tidak lagi mencerminkan asas gotong royong dan keadilan.
Rasio gaji yang tak wajar itu tak hanya di Pertamina, tapi juga terjadi di BUMN kita yang lain. Seperti bank BUMN, Maskapai Garuda, KAI, dan lain lain. Di Bank BRI misalnya, jika disertakan bonus, tantiem dan lain lain, berdasarkan laporan keuangan 2022, perkalian gaji direktur utamanya bahkan hingga 2.200 kali lipat dari gaji karyawannya dengan jabatan terbawah.
Gaji tinggi tentu boleh boleh saja, tapi tentu sungguh tak elok jika kemudian gaji pekerja di BUMN itu yang terbawah hanya berstandard Upah Minimum Regional (UMR). Seharusnya peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri BUMN itu bukan hanya mengatur tentang penentuan struktur gaji bagi Komisaris dan Direksi serta Pengawas BUMN, melainkan seharusnya mengatur struktur gaji keseluruhan karyawan. Ini jelas berpotensi moral hazard.
Kalau mau adil dan juga penuhi asas kegotong royongan, gaji itu sebaiknya diatur dengan batasan rasio gaji tertinggi dan terendah. Sebab jika hanya mengatur struktur gaji komisaris dan direksi dan itupun dasarnya hanya pembagian prosentase alokasinya maka dampaknya adalah justru perilaku mereka menggencet mereka yang di bawah demi kepentingan pribadi dan kelompok elit komisaris dan direksi semata.
Sebagai salah satu pembanding dalam model penentuan pembatasan rasio gaji ini kita dapat mencontoh satu perusahaan Mondragon Worker Cooperative Group ( MWCG) yang beroperasi di 15 negara dan karyawanya sebanyak 80.000 orang lebih.
Gaji mereka ditentukan di statuta perusahaan antara yang tertinggi dan terendah hanya sebesar 6 kali lipat. Artinya jika seorang komisaris atau direktur utama akan menaikkan gaji mereka maka yang gaji karyawan dibawahnya semua juga turut naik dan batasanya jelas. Mondragon adalah perusahaan swasta, tapi mereka mempraktek ekonomi Pancasila dan ekonomi gotong royong.
Walaupun mereka tentu tidak mengenal istilahnya. Apalagi perusahaan BUMN yang mustinya mengemban misi pelayanan publik (public servise obligation), semestinya tidak kapitalistik dan ugal ugalan. Sebab BUMN itu adalah milik rakyat dan tujuanya untuk berikan sebesar besarnya bagi rakyat. [Luk]