RUU Perampasan Aset akan melengkapi instrumen pemberantasan korupsi di Indonesia.
BARISAN.CO — Angin segar berembus dari Istana Negara setelah Presiden Jokowi menyerahkan berkas RUU Perampasan Aset ke DPR, Kamis (4/5/2023) kemarin.
Di dalam berkas itu, yang ditandatangani oleh Presiden, termuat permintaan kepada DPR agar pembahasan dan persetujuan RUU Perampasan Aset menjadi prioritas utama.
Adapun presiden juga menugaskan beberapa pembantunya untuk membahas RUU itu dengan DPR. Mereka adalah Menko Polhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna H Laoly, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
Pembahasan rancangan regulasi ini penting. Ia akan melengkapi instrumen hukum dalam pemberantasan korupsi.
Terkatung di Senayan
Sejak menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi tahun 2003, Indonesia belum memiliki aturan perampasan aset atau asset recovery. Padahal, ini merupakan regulasi yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani konvensi tersebut.
Menko Polhukam Mahfud MD, kepada wartawan, membenarkan bahwa Presiden melayangkan surat ke DPR. Ia mengatakan sebetulnya Presiden Jokowi telah mengajukan RUU itu ke DPR sejak 2016. Namun, saat itu nasib RUU terkatung-katung karena ditarik lagi.
Pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi mengajukan lagi pembahasan RUU itu ke DPR. RUU kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
“Tetapi, tahun 2020, DPR menghubungi saya. Katanya dua RUU yang kami ajukan, yaitu RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Belanja Uang Kartal atau Uang Tunai belum disetujui oleh DPR sehingga keluar dari prolegnas, padahal kita (eksekutif) sudah masukkan,” ucapnya.
Setelahnya, pemerintah masih memperjuangkan RUU itu masuk lagi ke Prolegnas. Akhirnya, ujar Mahfud, terjadi kompromi di antara pembentuk UU. Pemerintah dan DPR sepakat kedua undang-undang itu dibahas, tetapi dibagi.
RUU Perampasan Aset diajukan sebagai inisiatif pemerintah. Adapun RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai diminta sebagai inisiatif DPR meskipun tim penyusun awal adalah pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Kami setuju. Itu pun masuknya (RUU Perampasan Aset ke prolegnas prioritas) baru pada awal tahun ini. DPR setuju sehingga pemerintah sekarang karena DPR setuju bisa masuk (Prolegnas Prioritas 2023),” ujarnya.
“Mudah-mudahan masa sidang yang akan datang sudah mulai bisa dibahas agar kami bisa segera membuat para pelaku tindak pidana, terutama koruptor takut. Karena, koruptor hanya takut miskin, bukan takut dihukum,” tambah Mahfud.
Ia pun berharap RUU Perampasan Aset bisa dibahas paling lama dua kali masa persidangan DPR atau dengan kata lain sudah dituntaskan sebelum akhir tahun ini. Sebab, sudah ada kompromi yang sebelumnya disepakati oleh pembentuk UU.
Aturan yang Efektif
Sejumlah pengamat hukum menilai RUU Perampasan Aset akan melengkapi instrumen antikorupsi. Selama ini, banyak kasus korupsi terhambat penyelesaiannya karena kurangnya aturan yang efektif.
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih, dikutip dari BBC Indonesia, mengatakan RUU Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelurusan, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas.