BARISAN.CO – Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 telah mengguncang berbagai sektor ekonomi global, termasuk pasar keuangan dan investasi. Dampak pandemi ini tidak hanya terasa pada tingkat makro, tetapi juga memengaruhi performa reksa dana, mulai dari Nilai Aktiva Bersih (NAB) hingga unit yang dihasilkannya.
Volatilitas pasar yang tidak menentu telah membuat para investor merasa cemas. Pandemi COVID-19 menciptakan ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya di pasar keuangan. Fluktuasi pasar yang besar dan cepat telah membuat reksa dana yang berinvestasi di saham dan obligasi menjadi sangat rentan. Pasar saham mengalami penurunan tajam pada awal pandemi, mengakibatkan penurunan nilai investasi dalam reksa dana saham.
Selanjutnya, respons investasi juga menjadi bergejolak. Ketika pandemi pertama kali melanda, banyak investor panik dan menjual investasi mereka dalam reksa dana. Ini mengakibatkan penjualan massal yang merugikan dan penurunan NAB. Meskipun pasar telah pulih sejak itu, beberapa reksa dana masih menghadapi tekanan dari penjualan besar-besaran yang terjadi selama masa ketidakpastian.
“Redemption” dalam konteks reksa dana mengacu pada proses di mana seorang investor atau pemegang unit reksa dana menjual kembali unit investasinya kepada perusahaan manajemen investasi atau kepada dana itu sendiri. Ini adalah salah satu fitur utama dari investasi dalam reksa dana, yang memberikan likuiditas kepada investor, yang berarti investor dapat dengan mudah mengambil uang mereka jika mereka membutuhkannya.
Dari sini, beberapa respons investor telah mempengaruhi komposisi aset dalam portofolio reksadana. Reksa dana yang memiliki eksposur yang signifikan terhadap sektor-sektor yang paling terpukul oleh pandemi, seperti pariwisata dan energi, mungkin mengalami penurunan yang lebih besar dalam nilai portofolio mereka.
Sementara itu, suku bunga pada reksadana menjadi kurang kompetitif. Respons dari investor adalah memilih instrumen yang memberi margin yang lebih besar. Banyak investor saat ini lebih memilih untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN), dengan yield yang cukup tinggi serta kebijakan pemangkasan pajak dari sebelumnya 20% menjadi 10%. Ini terlihat sebagai tindakan yang bijaksana karena risiko sepenuhnya ditanggung oleh negara. Variabel-variabel tersebut telah membuat banyak investor tergoda untuk berinvestasi dalam SBN dengan berbagai jenisnya.
Namun, biang kerok dari penurunan kinerja ini adalah sentimen global. Pandemi telah menciptakan ketidakpastian ekonomi yang berkelanjutan. Ketidakpastian ini dapat membuat investor lebih berhati-hati dan cenderung menarik investasi mereka dari reksa dana, yang dapat mengganggu kinerja dan NAB.
Portofolio Kinerja Reksa Dana Pasca Pandemi
Kinerja reksa dana pasca pandemi telah mengalami depresiasi, menunjukkan adanya aksi redemption oleh investor yang beralih ke instrumen investasi lainnya. Hal ini tercermin dalam penurunan yang berkelanjutan.
Sejak Desember 2021, Nominal NAB terus mengalami penurunan hingga Agustus 2023. Pada Desember 2021, angka NAB mencapai 580,144 miliar dengan penyertaan unit sebanyak 422 miliar unit. Sementara pada Agustus 2023, portofolio penghimpunan NAB mengalami penurunan menjadi 516,682 miliar. Juga, unit penyertaan mengalami penurunan menjadi 385 miliar unit.
Penurunan kinerja penghimpunan dana oleh reksa dana tersebut juga terjadi secara tahunan. Pada Agustus 2022, NAB terhimpun sebanyak 544,840 miliar, mengalami penurunan sebesar -5.17% year on year. Demikian pula, unit penyertaan mengalami penurunan signifikan sebesar -4.08% year on year pada Agustus 2022.
Dari berbagai sudut pandang, penyebab penurunan kinerja reksa dana ini harus segera mendapat penanganan berbagai kebijakan moneter yang mendorong ketahanan. Perusahaan reksa dana harus gencar melakukan inovasi-inovasi yang dapat mempertahankan minat investor dalam pembelian unit mereka. Penurunan kinerja reksa dana dapat memberikan dampak pada sentimen pasar, yang berpotensi berdampak negatif pada keseimbangan pasar moneter jika tidak segera ditangani. [rif]