Berikut adalah penjelasan atas rancunya penggunaan kata imbuhan perdesaan dan pedesaan.
BARISAN.CO – Sudah sejak lama masyarakat kita kurang peduli terhadap desa. Jangankan pada soal-soal yang besar, pada soal ilmu bahasa sederhana saja orang tidak peduli bahwa perdesaan dan pedesaan punya arti yang berlainan. Dua kata ini sudah sejak lama dirancukan.
Dalam ilmu bahasa kita mengenal konfiks atau imbuhan terbelah di kiri dan kanan dari kata dasar. Pada konteks ini, konfiks dari kata dasar ‘desa’ yang sedang dibahas adalah per-an dan pe-an.
Secara ringkas, konfiks per-an umumnya mengandung makna tempat. Sementara konfiks pe-an hampir selalu menyatakan peristiwa atau perbuatan.
Maka dengan demikian, jika yang kita maksud adalah kumpulan bangunan di suatu tempat yang membentuk sebuah kompleks desa, maka sesuai aturan ini kata perdesaan lebih tepat.
Pada rumpun aturan yang sama, konfiks per-an selain pada perdesaan juga terdapat pada perkotaan, percetakan, persawahan, perkebunan, perkampungan, dan sebagainya. Sama antara satu dengan yang lainnya, semua contoh barusan mengandung makna tempat.
Adapun konfiks pe-an yang mengandung makna peristiwa atau perbuatan misalnya pada pemanasan, pelayaran, pemakzulan, pelarangan, dan lain-lain.
Seturut penjelasan tersebut, maka sudah semestinya pedesaan bukan bentuk yang tepat jika kita sedang merujuk pada sebuah lokasi.
Perkotaan vs Perdesaan
Berbeda nasib dari ‘desa’ yang serba rancu, publik hampir tidak pernah salah kaprah menuliskan konfiks ‘kota’ yakni perkotaan, saat berusaha merujuk sebuah tempat. Jarang sekali—atau bahkan tidak pernah—kita melihat orang menulisnya menjadi pekotaan, kecuali disebabkan salah tik.
Sebetulnya untuk menghindari kesalahan penulisan perdesaan, kita bisa saja dengan mudah membandingkannya dengan perkotaan. Jika antonim kota adalah desa, maka konfiksnya adalah perkotaan dan perdesaan. Sesederhana itu.
Ironisnya, masih banyak wartawan ataupun dosen bahasa yang masih salah kaprah. Keduanya adalah beberapa dari sekian pihak yang semestinya punya pengetahuan berbahasa lebih baik dari orang awam. Sayang, kita masih sering menemukan kekurangcermatan judul berita atau karya ilmiah yang memakai bentuk pedesaan.
Memang secara umum bahasa selalu hidup dan berkembang mengikuti masyarakat penuturnya. Tetapi, aturan baku tetaplah penting. Ia menjadi rujukan silang dan membuat kita—maupun orang asing yang tertarik dengan Indonesia—nantinya lebih mudah mempelajari bahasa. [dmr]