Scroll untuk baca artikel
Blog

Perempuan dalam  Lingkaran – Sapto Wardoyo

Redaksi
×

Perempuan dalam  Lingkaran – Sapto Wardoyo

Sebarkan artikel ini

“Awalnya dia sayang banget  sama saya, pak. Jadi saya mau saja ketika dia mau mengajak nikah. Dan ketika hal ini saya sampaikan pada mamah, mamah hanya bilang terserah. Yang penting dia cinta dan sayang sama kamu, begitu kata mamah. Eh, setelah setahun kami menikah, dia jadi berubah pak. Jadi jarang datang, kalau ditanya katanya sibuk dengan pekerjaan, akhirnya ya hilang begitu saja. Sudah setahun ini tak ada kabar sama sekali. Mau bagaimana lagi pak, saya hanya bisa pasrah.” Kata Susi mengakhiri ceritanya yang tanpa aku minta.

Aku masih memandangi wajah Susi, sungguh aku merasa ada yang membuat diriku terkesima. Bukan tentang wajah cantiknya itu, tapi tentang mudahnya sebuah proses dari seseorang yang ingin memasuki sebuah kehidupan berumah tangga. Apalagi proses itu bisa dibilang sungguh tak lazim. Oh my God!

“Aduh Susi, kenapa ini bisa terjadi? Kenapa kamu mau menikah dengannya kalau kamu tahu dia sudah punya istri? Kan banyak yang masih lajang, kenapa harus memilih yang sudah punya istri Susi?” tanyaku seperti ikut menyesali dengan apa yang terjadi pada diri Susi.

“Mungkin sudah nasib saya pak.” Jawab Susi pasrah.

“Nasib yang seharusnya sangat bisa kamu hindari. Tapi menurut aku, justru kamu sendiri yang memasrahkan dirimu pada nasib itu. Sekarang anakmu ikut siapa?”

“Sama mamah saya pak.”

“Dia masih kasih kamu uang untuk biaya anakmu?” dengan pasrah Susi menggeleng. “Jadi kamu sendiri yang tanggung biaya hidup anakmu?” lagi-lagi Susi mengangguk, lagi-lagi dalam kepasrahan.

Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh keheranan. Heran dengan apa yang telah terjadi dengan hidup Susi, heran dengan apa yang dilakukan oleh suaminya. Bisa setega itukah seorang laki-laki? Kalaupun dia tega dengan Susi, harusnya dia tak tega dengan anaknya, darah dagingnya sendiri. Tapi itulah yang terjadi. Ketika seorang laki-laki tak mampu menguasai hawa nafsunya dan akhirnya tak bertanggung jawab dengan apa yang sudah dilakukannya, maka seorang wanita harus pasrah  menerima nasibnya, seperti pasrahnya seorang Susi.

Akhirnya Susi pamit untuk membawa baju-baju yang sudah aku cek, untuk dibawa ke produksi dan di paking lagi. Puput masih tinggal bersamaku.

“Kamu kenal dengan suaminya Susi, Put?’ tanyaku. Puput menggeleng.

“Tidak  pak, kan kejadiannya sebelum Susi kerja di sini. Saya tahu kisahnya karena dia sendiri yang cerita ke saya. Katanya suaminya itu memang orang berduit pak, bisnis jual beli stok garmen.”  Jawab Puput.

“Ini suatu hal yang sangat aneh, Put. Kenapa orang tuanya Susi kok juga mendukung kalau sudah tahu bahwa calon suami anaknya itu sudah punya istri. Ini kan sama saja dengan menjerumuskan anaknya sendiri kan? Kecuali kalau duda ya lain hal.”