Pengambilan keputusan terkait pemindahan makam seorang pahlawan harus melibatkan kajian yang mendalam.
SULIT sekali membayangkan Indonesia tanpa makam Pangeran Diponegoro. Pada kenyataannya, adalah benar bahwa darah dan keringat Sang Pangeran telah melandasi berdirinya Indonesia.
Soal di mana seharusnya makam Sang Pangeran terletak, menurut usulan Prabowo Subianto, sebaiknya dipindah dari Makassar ke Yogyakarta. Prabowo beranggapan, pemindahan makam ke kampung halaman Diponegoro itu adalah cara menghormati perjuangan Sang Pangeran.
Tidak terlalu jelas dari mana Prabowo mendapat gagasan memindahkan makam Diponegoro. Ia mungkin alpa membaca bahwa banyak pahlawan kita dimakamkan jauh dari kampung halamannya masing-masing.
Cut Nyak Dien berjuang di Aceh, tertangkap pemerintah kolonial, dan dua tahun setelahnya meninggal di pengasingan di Sumedang. Ada juga pahlawan seperti Imam Bonjol, orang Minang yang dimakamkan di tempat pengasingan di Minahasa.
Selebihnya, kita dapat membaca kecenderungan pemerintah kolonial membuang para ‘pemberontak’ sejauh mungkin dari masyarakat dan tanah perjuangannya.
Di Eropa, tradisi pengasingan (exile and banishment) memang sudah ada sejak zaman Yunani. Pada abad-abad kolonialisme praktik itu gencar dijalankan. Dari sudut pandang otoritas, pada umumnya pengasingan bertujuan untuk meredam perlawanan dengan cara memisah pemimpin secara fisik dari basis massanya.
Pemerintah Hindia-Belanda juga melakukan itu. Namun tampaknya, pada kasus negara kita, mereka tidak memperhitungkan bahwa pengasingan tokoh perlawanan menjadi awal imajinasi tentang Indonesia.
Benar bahwa para pahlawan kita menjadi jauh dari tanah perjuangannya. Tapi, justru para pahlawan dapat diterima kehadirannya oleh masyarakat di tempat pengasingan. Bahkan ajaran mereka juga diterima dengan baik.
Di pengasingannya di Sukabumi, Cut Nyak Dien tidak lagi memegang rencong. Ia mengajarkan al-Quran dan bahasa Arab kepada penduduk. Orang-orang lebih memahaminya sebagai pendakwah daripada panglima perang. Dan di sana, Cut Nyak Dien dipanggil sebagai Ibu Prabu atau Ibu Suci.
Diponegoro, meskipun statusnya adalah orang buangan, pun diterima oleh masyarakat. Para pengikutnya dibebaskan bergaul dengan penduduk lokal Makassar di sekitar lokasi pengasingan. Setelah ia wafat, istri, anak, dan keluarganya melanjutkan hidup di sana dan melakukan pernikahan dengan penduduk lokal sampai turun-temurun.
Di Manado, pengawal-pengawal Imam Bonjol menikah dengan gadis Minahasa dan memeluk Islam dan mempunyai keturunan hingga sekarang.
Interaksi-interaksi semacam ini terus berulang bahkan sampai ke generasi pejuang berikutnya, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, yang juga merasakan pahitnya dibuang di tempat nun jauh di sana.
Tetapi, tempat-tempat pengasingan itulah yang justru membentuk identitas keindonesiaan kita. Makam-makam para pahlawan telah menyalakan api semangat persatuan dengan cara yang unik.
Hari ini di Makassar, banyak keturunan Diponegoro yang tidak membawa identitas tunggal. Ini menarik. Urat wajah mereka Jawa, nama mereka Jawa, logat mereka Bugis-Makassar, dan mereka tidak bisa berbahasa Jawa. Untuk berinteraksi dengan orang Jawa, mereka menggunakan Bahasa Indonesia.
Makam Diponegoro juga dilihat bukan hanya terbatas tempat seorang Pangeran Jawa bersemayam. Keberadaannya telah membawa iman hidup dan inspirasi bagi siapapun yang datang berziarah.
Pada ujung cerita, gagasan memindahkan makam Diponegoro sepertinya terdengar konyol. Tetapi jika ada pihak yang berkeras, maka konsultasi dengan ahli sejarah, ahli budaya, dan pihak-pihak terkait, serta mempertimbangkan pendapat publik adalah mutlak diperlukan. [dmr]