Nah, ketika PKI menempatkan para ulama dalam posisi strategis, para ulama merasa dihormati dan mendapat tempat.
Keempat, ulama kecewa kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua organisasi masa ini dinilai para ulama Banten terlalu lembek yang ditunjukan dengan lebih memilih berkompromi (kooperatif) dengan pemerintah Belanda.
Kekecewaan para ulama ini oleh tokoh-tokoh PKI dijadikan alat untuk kepentingan perjuangan mereka, khususnya untuk menggalang massa. Para agen propaganda PKI — seperti Puradisastra asal Banjar dulu masuk Kab. Ciamis — menyatakan para ulama tidak akan bebas beraktivitas selagi kaum kafir masih bercokol di Indonesia.
Sebaliknya, bila komunis “sang pembela rakyat” berjaya, umat Islam akan dibebaskan. Bahkan, untuk memperkuat propaganda mereka, tokoh PKI yang berlatar agama kuat seperti Achmad Bassaif dan Hasanuddin selalu menyitir firman Allah untuk mendukung propagandanya.
Selain itu, untuk memperkuat argumennya, para tokoh ini juga dalam tablignya selalu mengaitkan perjuangan revolusioner PKI dengan merujuk peristiwa-peristiwa perjuangan heroik di negara-negara Islam, misalnya perjuangan rakyat Maroko di bawah Abdul Karim melawan pemerintah Spanyol dan Prancis.
Bahkan, Lenin dan pejuang Bolshevik digambarkan sebagai para pembela Islam dan sebagai pendiri negara yang adil makmur yang diridai Allah.
Propaganda PKI ternyata tidak sia-sia. Ulama Banten yang cukup disegani seperti mantan Ketua SI Labuan Kiai Achmad Chatib, Kiai Alipan, dan Tubagus Hilman secara meyakinkan bergabung dengan PKI. Secara otomatis masuknya para kiai yang rata-rata memiliki pesantren ini juga disertai para santrinya.
Dalam perkembangan selanjutnya, masuknya ulama karismatis membuat dukungan masyarakat Banten kepada PKI sangat masif. Anggota PKI yang sebelumnya terkonsentrasi di Serang belakangan menyebar ke Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Kelompok selain ulama yang direkrut PKI adalah para jawara atau bandit lokal. Para jawara ini menguasai pasar-pasar dan tempat pelelangan. Para jawara ini mampu memberikan perlindungan kepada seluruh wilayah perdesaan karena mereka dibekali keterampilan bela diri dan mahir memainkan golok serta parang.
Para jawara juga aktif berperan dalam merekrut anggota PKI dari kalangan buruh di Batavia dan Sumatera. Keberanian dan kenekatan para jawara juga belakangan dimanfaatkan PKI dalam pemberontakan 1926.
Kendati, pada akhirnya pemberontakan itu gagal dan berujung pada penangkapan para ulama dan anggota PKI lainnya. Mereka ada yang dihukum mati, dipenjara, dan dibuang ke Boven Digul.