Manusia dan Lingkungannya
Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya melalui aktivitasnya dalam mengusahakan sumber daya dan lingkungannya untuk mempertahankan diri dan jenisnya (termasuk menjalankan ibadah yang membutuhkan air).
Sebaliknya, manusia juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya tidak hanya ditentukan oleh jenis dan jumlah sumber daya lingkungan yang ada tetapi juga oleh kondisi dan sifat sumber daya yang tersedia itu sendiri. Selain itu interaksi tersebut juga ditentukan oleh pandangan atau keyakinan manusia terhadap lingkungannya.
Dalam ekosistem makro maupun mikro, manusia adalah salah satu dari anggota baik hayati maupun non-hayati yang tidak terpisahkan. Karena itu kelangsungan hidup manusia tergantung pula pada kelestarian ekosistemnya. Namun karena kemampuan berpikir manusia dengan perilakunya yang melebihi kemampuan biota lainnya maka manusia menjadi faktor yang penting dalam ekosistem.
Aktivitasnya dapat merusak sekaligus meningkatkan kualitas ekosistem itu sendiri. Manusia harus dapat menjaga harmoni atau keserasian hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungannya sehingga keseimbangan ekosistem tidak terganggu. Manusia diharapkan dapat menjadi pelestari lingkungan.
Manusia memiliki daya nalar yang memungkinkannya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu kemampuan manusia dalam menciptakan lingkungan buatan yang berbeda dengan lingkungan alaminya secara langsung telah menyebabkan perubahan ekosistem yang semula alami menjadi ekosistem buatan.
Perkembangan alam pikiran manusia sangat memungkinkan adanya penguasaan atas tatanan lingkungan hidup melalui ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Akan tetapi jika penataan lingkungan hidup tidak memperhatikan etika lingkungan maka dengan sendirinya akan menyebabkan penurunan kualitas hidup dan perubahan kualitas lingkungan itu sendiri.
Penerapan cara berpikir yang melegalkan eksploitasi dan kurang memperhatikan kearifan akan mengakibatkan sumber daya alam non-hayati (air, udara, tanah) dan sumber daya alam hayati (hutan dengan flora dan faunanya) mengalami kemerosotan kuantitas dan kualitasnya. Karena itu kualitas sumber daya manusia dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya serta kearifan perilakunya sangat diperlukan peningkatan secara terus-menerus .
Kesalahpahaman dalam Memahami Alam
Kita seringkali hanya memperlakukan alam termasuk di dalamnya adalah air secara teknis semata. Bagaimana ia hadir di hadapan kita pun kita anggap hanya sebagai persoalan teknis ekonomis belaka. Jika tidak ada ya kita cari. Mengapa mesti rumit? Begitulah isi kepala semua orang di sekitar kita.
Ancaman krisis air yang dalam skala luas adalah krisis lingkungan hidup bermula dari kesalahpahaman dalam memahami arti kalimat manusia adalah khalifah di muka bumi. Kesalahpahaman itu dimulai dari paradigma anthropocentris yang dianut oleh umat islam terutama semenjak bersinggungan dengan dunia industrialisasi modern.
Khalifah yang dimaknai sebagai wakil Tuhan seolah menjadikan kedudukan manusia terhadap alam seperti kedudukan tuan dan budaknya. Pandangan inilah yang kemudian selanjutnya mendesakralisasi alam. Alam tak lagi dianggap sebagai citra Ilahi sebagaimana manusia.
Dalam konteks inilah menarik mengkaji pandangan teologi lingkungan. Dengan harapan, krisis lingkungan dan kenaifan manusia kekinian bisa berkurang. Dunia saat ini dihadapkan pada krisis lingkungan yang membutuhkan kerjasama untuk merawat dunia sebagai rumah bersama. Semua agama setuju bila dikatakan bahwa peradaban Barat, peradaban dunia, termasuk Indonesia sedang mengalami krisis.