Satu faktor kerapuhan pendidikan adalah kurangnya keterampilan guru dalam penguasaan pedagogi.
GURU baru itu masih muda. Laki-laki. Penampilannya menarik. Entah mengapa kalau diajar guru itu bawaan kami selalu semangat. Ia berhasil merebut hati kami yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Saking menariknya cara mengajar, guru muda itu membuat kami tak hanya terkesan di kelas. Di luar kelas kami suka mencarinya. Bahkan bersama teman-teman, kami berombongan main ke rumah guru itu. Masih terngiang jelas diingatan, kami berbincang di depan rumahnya, di bawah pohon talok yang rindang dalam suasana riang. Kami diterima penuh kehangatan seperti sahabat.
Kisah 45 tahun lalu itu tak pupus hingga sekarang. Hari ini saya masih mengingat jelas wajahnya. Masih mengingat bagaimana Ia mengajar di dalam kelas. Kesan itu begitu kuat dan melekat.
Memang begitulah seharusnya guru. Menjadi idola siswa. Mampu menguasai kelas dan merebut hati siswa serta membangkitkan semangat belajar. Itu modal yang lebih dari cukup untuk mengajar anak SD.
Guru muda itu bukan guru tetap. Ia mengajar hanya sebagai program praktik kerja lapangan yang hanya beberapa bulan. Ia masih dalam proses belajar di sekolah kejuruan guru. Namanya Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Jenjang pendidikan setara SMA itu sebenarnya sudah cukup untuk mencetak guru-guru SD. Umumnya guru SD masa itu hanya lulusan SPG dan umumnya relatif mumpuni dalam penguasaan kelas. Mungkin itu produk sekolah kejuruan di mana mengajar diberikan sebagai ketrampilan. Pedagogi bukan sekadar teori dan pengetahuan. Lebih dari itu pedagogi adalah ketrampilan mengajar di kelas.
Sayangnya, sekitar era 80-an, SPG bersama sekolah kejuruan lain digunting dari sistem pendidikan nasional. Secara konsep dan perencanaan, sebenarnya program kejuruan itu ada dan tertera di kurikulum 1984. Dengan alasan yang sebenarnya kurang strategis dan masuk akal, program kejuruan itu dihapus gegara persoalan anggaran.
Era-era selanjutnya negeri ini harus menanggung akibatnya. Pendidikan SD kita terpuruk kualitasnya sepanjang masa. Negeri ini menghadapi situasi rendah mutu karena mendapatkan guru yang tak kompeten di bidangnya. Memang tampak gagah ketika guru SD harus S1, tapi itu tak banyak menolong mutu pendidikan dasar.
Kita hari ini amat krisis kebutuhan guru yang menguasai pedagogi sebagai keterampilan. Sarjana pendidikan guru hari ini cenderung menguasai pedagogi sebagai ilmu pengetahuan (sains). Mereka mungkin tahu bagaimana mengajar yang baik dan mengenal berbagai metode mengajar yang tepat.
Semua itu tak akan berfungsi tanpa ada penguasaan praktik. Guru sekarang mungkin menguasai bidang ilmunya dengan baik, tapi itu tak berarti jika penguasaan keterampilan di kelas tidak dimiliki guru.
Sudah tepat ada SPG. Pendidikan guru itu ditempatkan dalam rumpun sekolah kejuruan (vokasi). Ini karena yang dibutuhkan adalah pedagogi sebagai keterampilan. Idealnya sekolah ini diperbanyak di tiap daerah untuk memenuhi kebutuhan guru.
Jika hari ini kita mendapati mutu pendidikan yang rendah untuk semua jenjang pendidikan dilihat dari berbagai indeks mutu (eksternal maupun internal), hampir bisa dipastikan karena jenjang pendidikan sekolah dasar kita buruk. Hal ini bisa dipahami karena SD fondasi seluruh bangunan pendidikan alami kerapuhan serius. Dan salah satu faktor kerapuhan ini adalah perihal mutu guru yang kaitan utamanya pada penguasaan pedagogi sebagai keterampilan.
Bangsa ini harus membayar mahal untuk mendongkrak mutu pendidikan. 20 persen anggaran pendidikan bahkan tak sanggup memberikan pertolongan apapun. Untuk kurun 20 tahun belakangan ini pendidikan kita mutunya konsisten: rendah!
Anggaran sebesar itu bahkan masih menyisakan tragedi yang harus kita tanggung: learning poverty! Yakni kemiskinan dalam pembelajaran akut yang ditandai kemampuan membaca tapi tak paham apa yang dibaca. Secara teknis kita sukses dalam pemberantasan buta huruf, tapi secara fungsi kondisi siswa kita masih alami buta huruf.
Sampai hari ini kita belum mampu mendongkrak mutu guru. Dan celakanya itu terjadi di sekolah dasar yang menjadi fondasi seluruh bangunan pendidikan. Dan petaka pendidikan itu harus kita terima hari ini dan mungkin untuk puluh atau ratus tahun ke depan. Keadaan yang sesungguhnya mencemaskan sekaligus mengerikan. [dmr]