GUS DUR pernah membuat joke politik, bahwa anggota Dewan seperti anak TK. Joke itu mungkin berlaku untuk para politikus hari ini.
Di masa kampanye pemilu, banyak pernyataan yang tidak mencerminkan politikus. Mereka bersikap, partai tak ubahnya gerombolan. Atau gang yang melulu berpikir demi hajat gangster.
Emosi dan pamer kekuatan hanya demi kibaran bendera kelompok. Sehingga mereka lupa pada tujuan, untuk apa mereka berparpol.
Ialah, sebagaimana semua niat mereka, demi menegakkan keadilan sosial. Bahkan dasar dari tujuan organisasi politik mereka merujuk pada ideologi Pancasila.
Puncak dari watak gangsteris atau dalam bahasa rakyat disebut gali atawa preman, ditunjukkan atas kenyataan. Tokoh-tokoh politik justru dari partai-partai besar yang melakukan korupsi.
Tidak tanggung-tanggung, korupsi mereka mencapai milyaran dan triliunan rupiah. Itu jelas tindak perampokan uang rakyat yang setia membayar pajak untuk negara.
Demikian, gangsterian di era yang diteriakkan dengan kata gagah reformasi beranak pinak dari partai single majority Golkar orde baru.
Partai tunggal terbesar yang kejayaan represif otorireriannya memakan ribuan korban nyawa rakyat, demi kekuasaan sang despot Jendral besar Soeharto.
Kursi kekuasaan militerian atas skenario peristiwa politik 1965, yang bahkan menagih korban seorang penyair kerakyatan Wiji Thukul.
Sang despot korup yang dibaptis sebagai bapak pembangunan pun memperanakkan anak pembangunan tak terkendali.
Pembangunan dengan label infrastruktur, yang lagi-lagi korbannya adalah rakyat. Inilah puncak era dengan hukum sebagai panglima, tapi nyatanya hukum tumpul ke atas dan runcing ke bawah.
Politik benar-benar jadi praktik politic is vuil Renne Descartes: politik adalah kekotoran.
Maka para parpol melakukan praktek kebusukan “lu jual gua beli”: kalau tidak ada uang di menara gadingmu maka tidak ada kehormatan politik di partaimu.
Kalau tidak ada milyar atau triliun rupiah di tanganmu, maka kau tidak akan menjadi gangster.
Jadi, adakah politik berkomitmen sosial?***