Pernah dikhianati oleh sosok yang didukung habis-habisan, tak lantas membuat Joko menjadi apatis.
BARISAN.CO – Joko Purnomo lahir di Blora pada 7 Maret 1966. Dia merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Masa mudanya dihabiskan di pergerakan. Saat SMA dia sudah berkecimpung di organisasi AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia). Saat kuliah, Joko sempat menjadi Ketua Bidang Senat Mahasiswa Fakulitas Sastra dari tahun 1987 hingga 1989. Selain itu, dia juga aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Semenjak kuliah hingga lulus kuliah, Joko juga banyak berkecimpung di dunia Pengembangan Masyarakat bersama Lembaga Pengembangan Teknologi Perdesaan (LPTP) yang berkantor pusat di Surakarta. Bahkan, hingga sekarang, Joko masih terus berkomunikasi dengan LPTP.
Namun, pada tahun 2003, dia menjajaki pekerjaan baru, yakni politik. Joko terpilih menjadi Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten Wonogiri selama dua periode. Karirnya menanjak, hingga Joko menjabat sebagai Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah pada 2013 hingga 2018.
Sebelum di KPU, sejak reformasi, Joko tergabung ke PAN (Partai Amanat Nasional). Ketertarikannya pada dunia politik sebenarnya dimulai sejak kecil. Kebetulan, ayahnya adalah aktivis partai. Sehingga, dia terpapar dengan perpolitikan, bahkan saat berada di dalam rumah.
Saat awal-awal di KPU, Joko kepada Barisanco mengungkapkan, tidak menemukan perbedaan antara pekerjaannya sebelumnya di LPTP.
“Karena saat itu, idealisme KPU adalah pengembangan demokrasi di Indonesia. Jadi, masih sama yakni pemberdayaan masyarakat,” katanya beberapa waktu yang lalu.
Namun, seiring dengan perubahan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, kata Joko, KPU berubah. Dia menerangkan, awal KPU di daerah tahun 2003 (menjelang penyelenggaraan Pemilu 2004), KPU masih belum memiliki UU sendiri sebagai Penyelenggara Pemilu (Pemilihan Umum), tapi masih menjadi bagian di dalam UU Pemilu.
“Barulah menjelang Pemilu 2009, KPU memiliki UU sendiri sebagai penyelenggara Pemilu,” tambah Calon Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Daerah Pemilihan Jawa Tengah melalui Partai NasDem (Partai Nasional Demokrat) ini.
Secara kelembagaan, jelas Joko, sebenarnya tidak ada perbedaan. Dia melanjutkan, pada awal berdirinya KPU di daerah, fasilitas serba terbatas dan idealisme serta kemandirian pada penyelenggara masih sangat kelihatan.
Namun sekarang, menurutnya, meski semua fasilitas sudah sangat bagus, tetapi “kualitas” kemandirian menurun. Kemandirian yang dimaksud Joko ialah independensinya.
“Artinya, saat ini tampak sekali penyelenggara KPU, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) kurang independen. Banyak sekali kasus yang dihadapi oleh KPU saat ini, dikarenakan kurang atau tidak mandiri,” terangnya.
Pasca dari KPU, setelah genap 15 tahun menjadi Penyelenggara, pada Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Wonogiri tahun 2020, Joko menjajal menjadi peserta Pemilu dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Wonogiri. Joko Purnomo menjadi cawabup (calon wakil Bupati) berpasangan dengan Hartanto.
Tidak tanggung-tanggung, lawan atau kompetitornya dari kubu petahana yaitu Joko Sutopo dan Setyo Sukarno. Pilkada yang diselenggarakan di tahun pertama Pandemi Covid-19 itu tidak memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk melakukan persiapan dan sosialisasi kepada masyarakat.
“Awalnya, tidak ada niat ikut kompetisi di Pilkada, tetapi di Kabupaten Wonogiri hanya muncul calon tunggal yakni petahana. Sementara, partai politik atau gabungan partai politik lainnya memungkinkan untuk mengajukan pasangan calon,” jelasnya.
Untuk mencegah calon tunggal, Joko mendorong beberapa partai politik untuk bergabung mengajukan pasangan calon. Dia dengan lugas menyampaikan, calon tunggal perlu dicegah karena akan merusak infrastruktur politik yang telah dibangun di kabupaten tersebut.
“Oleh karena itu, setelah mendapat pasangan dan melakukan komunikasi intensif dengan beberapa partai politik, akhirnya muncul dua pasangan calon di Pilkada Kabupaten Wonogiri Tahun 2020. Sejak saat itu, saya aktif menjalin komunikasi dengan beberapa partai politik, khususnya untuk menyiapkan Pemilu 2024,” ungkapnya.
Selama berkiprah di dunia politik, Joko Purnomo mengungkapkan, hal yang dirasa paling menyakitkan adalah saat mendukung seseorang dengan mengorbankan banyak hal, tetapi yang didukung tidak konsisten dengan janji-janji kampanye, bahkan berkhianat
Namun, pengalaman pahit itu tak lantas membuatnya apatis. Baginya, pengalaman pahit adalah perjalanan yang harus dilalui sebagai bagian dari proses pendewasaan dan menemukan pemimpin yang sebenar-benarnya.