Peradaban manusia terus mengalami perkembangan, seiring arus informasi dan komunikasi berbasis internet. Sehingga melahir revolusi industri 4.0, yang mempengaruhi perkembangan di segala bidang. Termasuk teater mengalami dilema yang besar dari industri berbasis internet tersebut.
Jika menilik arti teater sendiri memiliki arti gedung pertunjukan seperti auditorium. Menjadi tempat berlangsungnya pertunjukan baik itu pertunjukan seni drama, maupun sandiwara. Dalam artian bahwa teater adalah panggung pertunjukan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas melalui beragam media, percakapan, gerak maupun instalasi lainnya seperti dekor, tata lampu, dan setting panggung.
Di Indonesia lahirnya teater diawali dengan seni teater tradisional. Seiring perkembangannya kisaran tahun 1968 setelah WS Rendra pulang dari Amerika teater modern mulai mewarnai dunia pertunjukan. WS Rendra mendirikan Bengkel Teater menjadi tanda kemajuan dunia teater Indonesia. Begitu juga berdirinya taman Ismail Marzuki sebagai ruang para seniman untuk berkreatifitas.
Hingga sampai periode tahun 1980 hingga 1990 teater makin berkembang. Banyak lahir kelompok dan komunitas teater, bahkan perkembangan teater mewarnai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) setiap kampus memiliki kelompok teater. Bahkan tingkat sekolah-sekolah bermunculan kelompok teater dan tentunya di komunitas masyarakat.
Seiring waktu perkembangan teater menghadapi era modern hingga puncaknya pada saat ini yakni era revolusi industri 4.0. Teater sebagai seni laku hidup, kini dihadapan cara pandang modern dengan anak paradigma positivistik. Teater sebagai laku hidup mulai tergerus, satu per satu kelompok teater harus mendapatkan imbasnya. Insan teater tetap masih ada, namun kelompok-kelompok teater mulai bertumbangan.
Dilanjutkan dengan industri 4.0 dengan cara pandang post-truth. Jika arus modern dibentuk paradigma positivistik yang berpendapat sesuai dengan fakta (empirisme) dan rasio (rasionalisme). Saat ini cara pandang post-turut tidak lagi berpikir fakta dan rasio, melainkan cara pandang sentimen dan kepercayaan yang dibentuk. Istilahnya inilah masa pascakebenaran, bahwa segala sesuatu dikendalikan opini masyarakat melalui kekuatan teknologi internet.
Teater industri 4.0
Teater sedang mengalami dilema, terlebih kelompok-kelompok teater sudah berganti mengikuti pola zaman. Jika awalnya teater merupakan seni panggung berbentuk auditorium, berkembang menjadi panggung kehidupan. Namun tidak hanya kehidupan sosial kemasyarakatan, tapi juga medis sosial dan terlebih dunia maya.
Nilai otonom yang dimiliki seni teater, sebagaimana teater bukan sekadar hiburan. Melainkan juga nilai kehidupan itu sendiri, karena seni teater memiliki peran memperhalus dan memperkaya batin manusia. Kini nilai otonom tersebut mulai direnggut oleh industri 4.0 dan cara pandang post-truth.
Sebab manusia kini terkungkung sikap individualis, hadirnya gadget, smartphone, dan teknologi informasi lainnya mempengaruhi jiwa manusia. Selain sikap individualis, perilaku manusia dijalankan oleh perkembangan industri 4.0 yakni semua perilaku disikapi dengan nilai materi.
Pada puncaknya semua ini adalah panggung, baik realitas kehidupan maupun dunia maya. Semua menjadi aktor, baik itu selebriti, teaterawan, kiai, hingga politikus. Semua bebas jadi apa saja. Seorang politikus bisa berperan menjadi orang yang dermawan. Para kiai bisa berperan menjadi jutawan. Bahkan para selebriti bisa menjadi gembel jalanan.
Akan tetapi nilai otonom teater telah sirna, yang mana teater memiliki tujuan mulia yakni menghaluskan jiwa dan akal budi. Kini tujuannya berganti dengan kepentingan, kekayaan, jabatan, hingga ketenaran.
Panggung-panggung teater bisa digelar dimanapun. Apalagi era industri 4.0 menyediakan beragam fasilitas panggung sandiwara seperti, facebook, twitter, whatshapp, instagram, Tik-Tok, maupun YouTube. Melalui panggung tersebut bisa bermain dengan tim atau kelompok, bahkan individu-individu dapat berdiri sendiri. Lebih enaknya, melalui panggung tersebut, ia bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah melalui monetisasi iklan.
Jadi siapa saja bisa menjadi aktor, mendapatkan materi. Namun yang perlu diingat bahwa satu hal yang tidak bisa diambil oleh internet adalah pendidikan akhlak. Atau dalam dunia teater yakni nilai otonom untuk memperhalus jiwa dan akal budi.
Teater kehidupan
Teater kehidupan di era revolusi industri 4.0 dan cara pandang post-truth telah memberikan warna tersendiri. Bahkan lebih menarik dari panggung-panggung konvensional. Jika arahnya hanya sebatas tujuan, maka teater industri 4.0 adalah ruang tanpa imanjinasi.
Naskah teater sudah terbentang bebas melalui media-media pemberitaan. Orang bisa menikmati kisah tragis yang diberitakan. Bagaimana tidak nikmat dan tragis, bahkan tiap hari bisa menikmati suguhan teater kehidupan seperti kisah pembunuhan maupun korupsi. Bahkan beragam bentuk pembunuhan, misalnya seorang ibu membunuh anak yang masih dalam kandungannya. Atau seorang pejabat rela korupsi mega proyek demi wanita simpanannya.
Kisah-kisah semacam itu bertebaran, lebih bisa dinikmati karena disajikan dengan bentuk tampilan yang menarik. Selain itu beragam pertunjukan video baik di YouTube maupun Tik-Tok, juga enak dinikmati yang mampu menggeser dominasi panggung televisi.
Dengan demikian, apakah panggung sandiwara tersebut dapat dijadikan media penyampaian nilai otonom teater. Sebab segala pertunjukan merupakan suatu bentuk komunikasi antara penyaji yang disampaikan dan dinikmati oleh penonton.
Ya…siapa saja bisa menjadi aktor teater. Sesungguhnya kehidupan ini adalah panggung sandiwara, maka jadilah aktor kehidupan. Aktor yang mampu memahami nilai otonom teater yakni mampu memperhalus jiwa dan akal budi. Selamat hari teater sedunia 2021.
Diskusi tentang post ini