Sepertinya bagi Prabowo dan Ganjar mencari cawapres layaknya menunggu Godot, seperti kisah drama yang ditulis Samuel Beckett.
SAAT melintas di perempatan Jalan Buncit Raya di sekitar Kantor Harian Republika, Jakarta Selatan, pekan lalu, saya melihat dua baliho besar yang bersanding. Di sana terlihat baliho Anies-Gus Imin sementara baliho satunya lagi Ganjar tanpa pasangan alias ‘jomblo’.
Bakal calon wakil presiden yang masih sorangan bukan hanya Ganjar tetapi nasib yang sama juga dipertontonkan oleh bacapres Prabowo Subianto.
Kenapa kedua bacapres ini sangat sulit mendapatkan bakal calon wakil presiden (bacawapres)? Sebenarnya koalisi yang dibangun PDI Perjuangan dengan PPP dan dua partai nonparlemen seperti Partai Hanura dan Perindo sebenarnya tidak kekurangan kandidat. Di sana ada Mahfud MD, Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno.
Pun, di koalisi bongsor Prabowo Subianto. Nama yang digadang-gadang ada Erick Thohir, Airlangga Hartarto dan juga kemungkinan Gibran Rakabuming, bila Mahkamah Konstitusi mengabulkan usia minimal capres dan cawapres menjadi lebih muda dibandingkan aturan saat ini.
Namun, faktor elektabilitas personal Anies Baswedan yang tak terbendung ditambah berkoalisnya Partai Kebangkitan Bangsa dengan Nasdem dan PKS yang kemudian melahirkan pasangan AMIN, membuat peta koalisi kembali ke titik nol.
Prabowo Subianto yang lengah dan tidak berempati dengan perasaan Gus Imin yang di-‘bully’ teman koalisi sebelumnya, menjadi kesalahan yang paling fatal. Juga kesalahan paling mematikan adalah mengubah nomenklatur dari sebelumnya Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya menjadi Koalisi Indonesia Maju.
Koalisi yang dipimpin Prabowo terlalu percaya dengan teori politik konvensional yang selalu mendoktrin bahwa ideologi PKB yang ‘kanan dalam’ dan PKS ‘kanan luar’ dianggap seperti air dan minyak. Mereka lupa bahwa politik itu seni segala kemungkinan. Ekstremnya, yang mustahil hanya menghidupkan orang mati.
Kepongahan koalisi gemuk Prabowo yang menganggap enteng Gus Imin harus dituai lebih cepat. Akibatnya sampai saat ini kelompok Prabowo sangat sulit untuk menemukan cawapres yang tepat.
AMIN Tak Terbendung?
Saya tidak terlalu percaya dengan anggapan bahwa ada kesengajaan dari Ganjar dan Prabowo untuk tidak memunculkan bacawapresnya lebih awal. Publik justru menilai kedua capres itu sulit mendapatkan kandidat yang bisa mendongkrak elektabilitas setelah Gus Imin menyeberang ke Koalisi Perubahan.
Mereka kini kesulitan untuk mencari kandidat yang bisa menandingi suara yang kemungkinan akan diangkut feeder PKB ke gerbong Koalisi Perubahan.
Selain di antara partai koalisi masih ngotot tentang bacawapres yang diusung partainya, lambatnya pengusungan ini juga sebagai dampak ‘Gus Imin Effect’.
Peta koalisi tidak sekadar berantakan tetapi juga kemungkinan elektabilitas capres Prabowo atau Ganjar, melorot. Isu ini mencuat kembali ke publik letika PDIP mewacanakan dua poros atau dua pasang kandidat yang akan bertarung dalam Pilpres 2024. Wacana ini patut dicurigai sebagai desain yang dipersiapkan matang lantaran pagu anggaran pun dialokasikan hanya untuk satu putaran Pilpres 2024.
Munculnya isu Prabowo akan dipasangkan dengan Ganjar sebagai penanda bahwa elektabilitas dua kandidat capres tersebut bermasalah. Minimal stagnan. Apalagi setelah acara penyampaian visi misi kandidat capres di Universitas Gadjah Mada tone negatif dituai Prabowo dan Ganjar. Termasuk tone negatif juga sebelumnya diperoleh Ganjar seusai kuliah umum di Fisipol Universitas Indonesia. Cap “Petugas Partai” menjadi titik lemah Ganjar dan ini melekat sebelumnya pada Presiden Jokowi.
Sepertinya bagi Prabowo dan Ganjar mencari cawapres layaknya menunggu Godot, seperti kisah drama yang ditulis Samuel Beckett.
Cuma siapa yang berperan sebagai Vladimir (Didi) dan Estragon (Gogo). Karakter mana yang diperankan Prabowo dan Ganjar? Entahlah.
Dan, yang paling penting adalah, siapa Godot yang sebenarnya?