PMI mengklaim, produknya ini bebas dari asap. Namun, Ketua Rukki (Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia) Mouhamad Bigwanto menegaskan, klaim tersebut merupakan misleading.
BARISAN.CO – PT HM Samperna Tbk (Sampoerna) yang merupakan bagian dari Phillip Morris International (PMI) memperkenalkan produk tembakau bebas asap IQOS ILUMA di Indonesia pada awal tahun ini. Produk ini diluncurkan terbatas di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan lain-lain.
IQOS ILUMA adalah perangkat heat-non-burn yang ditawarkan dengan harga paling murah yakni Rp349.000. Namun, harga ini tidak termasuk charging cable dan power adaptor. Sementara, untuk harga power adaptornya Rp155.000 dan charging cable-nya Rp125.000. Jika ditotalkan, untuk mendapatkan seperangkat alat IQOS ILUMA sebesar Rp629.000.
Perangkatnya memang mahal, namun batang stik khusus IQOS ILUMA dijual dengan harg RP29.000. Untuk menggaet minat masyarakat, IQOS menyiasatinya dengan meminjamkan perangkat IQOS selama 14 hari secara cuma-cuma. Bahkan, akan diantar langsung dan selesai pinjam, perangkat akan diambil di tempat peminjam.
PMI mengklaim, produknya ini bebas dari asap. Namun, Ketua Rukki (Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia) Mouhamad Bigwanto menegaskan, klaim tersebut merupakan misleading.
Bigwanto menuturkan, stik khusus IQOS berasal daun tembakau yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa dipanaskan.
“Kalau rokok dibakar, IQOS tidak sama. Jadi, misleading selama ini selalu disebut tidak ada asap, itu sama ada emisi asap,” kata Bigwanto dalam Press Briefing, “Refleksi Hari Demokrasi Internasuonal dan Peluncuran Laporan Indeks Gangguan Industri Tembakau Tahun 203 di Indonesia di Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Bigwanto menambahkan, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebenarnya mendefinisikan produk tembakau yang dipanaskan sama dengan rokok konvensional karena dari daun tembakau.
Oleh karena ini, Bigwanto menyampaikan, begitu khawatir dengan hal ini. Apalagi, katanya, dengan boleh pinjam alatnya karena memang alatnya yang mahal.
“Kita mengalami kekosongan aturan untuk rokok elektronik, tembakau yang dipanaskan dan tembakau cair itu sampai saat ini belum ada aturan, kecuali aturan fiskal cukai. Dari 2018, Kementerian Keuangan menerapkan cukai,” tambah Bigwanto.
Namun, hanya itu saja, selebihnya tidak ada aturan lain, ungkap Bigwanto terkait rokok elektronik yang dipanaskan atau yang cair.
“Inilah yang membuat industri sangat leluasa bikin iklan bahkan sempat ada billboard-nya. Bayangin, sudah 5 tahun (aturan cukai diberlakukan) dan anak-anak sudah banyak yang menjadi perokok elektronik dari 2011 itu 0,3 persen menjadi 30 persen di tahun 2021,” jelas Bigwanto.
Mudah-mudahan, lanjut Bigwanto, RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) yang sedang digodok saat ini bisa melindungi anak-anak dari produk tersebut.
Sedangkan, Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari mengungkapkan, selama pendampingan di sekolah, banyak orang tua yang melaporkan anaknya didapati merokok karena termakan atau percaya promosi bahwa rokok elektronik tidak berbahaya dan tidak mengeluarkan asap.
“Mereka bisa membelinya di e-commerce dan ketahuannya pas barangnya datang, dibuka ternyata alatnya. Merasa berhasil menjadi orang tua karena anaknya tidak merokok, tapi ketika menemukan itu kayak seluruh kehidupan orang tua jadi runtuh,” terang Lisda.
Seperti itulah, jelas Lisda, cara-cara yang dilakukan oleh industri rokok dan targetnya anak-anak dalam berbagai bentuk rokok dan cara mengonsumsinya.
“Tanpa aturan dan bisa melakukan promosi iklan itu akan memengaruhi atau membuat anak-anak menjadi perokok,” ujar Lisda. [Yat]