PUASA yang dalam bahasa Arab disebut showum dan pelakunya disebut shoim, merupakan ibadah wajib yang tidak berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan dengan ibadah lainnya yakni: zakat. Tidak sempurna puasa seseorang tanpa mengeluarkan zakat, atau sebaliknya. Kombinasi antara dua jenis ibadah tersebut—jika dilaksanakan dengan maksimal—mengantarkan seseorang bukan hanya saleh secara individual melainkan juga saleh sosial. Jika hal tersebut dilakukan secara kolektif-integratif, dapat menjadi katalisator dan transformer guna mewujudkan negeri makmur dalam ridho Allah SWT (baldatun toyibatun warabbun ghafur).
Sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183, tujuan puasa adalah mencetak (creat) manusia bertakwa atau muttaqien.
Pengertian muttaqien yang disasar oleh ibadah puasa adalah orang-orang yang menjalankan secara konsisten segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya. Ini artinya, muttaqien adalah orang-orang yang mampu membangun interaksi dan komunikasi vertikal kepada Allah SWT serta interaksi dan komunikasi horisontal kepada sesama manusia secara seimbang.
Lebih rinci tentang karakteristik muttaqien dideskripsikan dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 133-136 yang mencirikan sifat-sifat sebagai berikut: (1) gemar menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah, (2) menahan amarah manakala menemukan atau menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, (3) Memberi maaf kepada orang yang minta maaf, (4) mengerjakan kebaikan bagi kemaslahan orang lain, dan (5) selalu mohon ampun atas kesalahan dan dosa, sengaja ataupun tidak disengaja.
Zakat Ibadah Sosial
Sedangkan zakat merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi salah satu unsur pokok tiang penegakan syariat Islam. Hukumnya wajib ditunaikan oleh setiap muslim dan muslimah yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), zakat artinya suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Di dalam zakat terkandung harapan untuk memperoleh keberkahan, kebersihan jiwa, dan memupuk kebaikan.
Dalam ajaran Islam, zakat merupakan ibadah yang mengandung dua dimensi, yaitu vertikal dan horisontal. Memiliki dimensi vertikal karena zakat merupakan ibadah yang memiliki nilai ketaatan kepada Allah SWT (hablum minallahi) guna menggapai ridha-Nya. Sedangkan dalam dimensi horisontal sebagai kewajiban kepada sesama manusia (hablum minannas). Zakat merupakan suatu kewajiban bagi subyeknya (muzakki) dan menjadi hak bagi objek zakat (mustahiq). Adapun mustahiq zakat adalah Fakir, Miskin, Amil Zakat, Mualaf (orang baru memeluk agama Islam), Riqab (budak), Gharim (orang yang berutang untuk kebaikan), dan Sabilillah (sedang berjuang di jalan Allah).
Zakat mempunyai sejumlah fungsi. Diantaranya pertama: membersihkan diri (tazkiyatun nafs) dari sifat-sifat bakhil, kikir, pelit (beda degan hemat) dan tidak peduli dengan sesama. Kedua, fungsi edukasi, yakni: membantu membiayai pendidikan anak-anak yang sedang sekolah atau kuliah. Ketiga, fungsi sosial sosial dan ekonomi, yakni: memberikan pertolongan bagi kaum lemah (mustadafin) atau bantuan modal usaha bagi kalangan yang bergerak di bidang ekonomi atau usaha. Keempat, fungsi politik yakni: membantu keuangan negara yang mengalami ketidakmampuan dalam mengembangkan usaha-usaha produktif, potensi pajak, atau mengelola sumber daya alam yang melimpah.
Berdasarkan hasil kajian, potensi zakat skala Baznas RI mencapai Rp 5,8 triliun. Potensi zakat penghasilan tertinggi ditempati oleh zakat penghasilan pegawai BUMN sebesar Rp 2,57 triliun, disusul zakat karyawan perusahaan nasional yang mencapai Rp 2,301 miliar. Selanjutnya adalah potensi zakat penghasilan ASN kementerian memiliki nilai Rp 726 miliar, potensi zakat Aparatur Sipil Negara/ Lembaga Pemerintah Non Kementerian Rp 102 miliar, potensi zakat ASN Lembaga Negara Rp 71 miliar. Selanjutnya potensi zakat TNI dan Polri tercatat sebesar Rp 46 miliar dan potensi zakat pegawai Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tercatat senilai Rp 16 miliar.
Seperti halnya puasa atau shalat, zakat merupakan suatu ibadah yang mempunyai misi agar pelakunya soleh secara individual, dan soleh secara sosial. Bahkan karena lebih banyak bersentuhan dengan ekonomi dan finansial, zakat merupakan ibadah yang sangat mengandung dimensi sosial dan kemanusiaan. Dalam satu negara yang mayoritas penduduknya muslim dan pada umumnya taat membayar zakat—manakala zakat dikelola dengan professional, transparan serta akuntabel—harusnya sangat sedikit menemukan penduduknya faqir dan miskin, terlebih di bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Rethinking Kunto dan Moeslim
Sesungguhnya sudah banyak cendekiawan muslim yang menyusun dan menawarkan gagasan, konsep, teori atau pemikiran yang berikhtiar mendialogkan dan mentransformasikan antara sumber-sumber keislaman (Al-Qur’an dan Hadist dan lain-lain) dengan isu-isu kemanusiaan. Antara lain budayawan Kuntowijoyo. Melalui tulisannya yang berjudul “Islam sebagai Ilmu Epestimologi, Metodologi dan Etika”, Kunto demikian Kuntowijoyo sering disapa berpendapat, seorang muslim hendaknya memandang hal nyata melalui kaca mata Islam dan eksistensi ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam Al-Qur’an.
Dari proses pergulatan intelektualnya yang intens dengan ilmu sejarah dan sosial, Kunto melahirkan gagasan tentang paradigma Ilmu Sosial Profetik (ISP). Yakni: sebagai ilmu sosial yang tidak hanya memberikan penjelasan tentang realitas sosial dan mentransformasikannya, tapi sekaligus memberi petunjuk kearah mana transformasi itu dilakukan dan untuk tujuan apa? ISF tidak sekadar merubah demi perubahan sendiri tapi merubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Kunto kemudian merumuskan tiga pilar ilmu sosial profetik yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam Al-Quran.
Dalam ISP, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris. Sementara konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.
Sementara liberasi dalam ISP sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja IPS tidak hendak menjadikan liberasi sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi IPS adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Sedangkan transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam IPS.
Moeslim Abdurrahman merupakan cendekiawan muslim lainnya yang concern dengan tema ini. Melalui gagasannya yang disebut dengan teologi transformatif, Moeslim lebih menitikberatkan pada perubahan secara praksis, dengan tujuan untuk mengatasi problem sosial yang diakibatkan oleh dampak modernisasi. Menurut Moeslim, konsep modernisasi barat telah mengakibatkan kesenjangan sosial antara penindas, yaitu: pemilik modal dan penguasa, sedangkan yang tertindas adalah kaum mustadh’afin diantaranya para buruh dan kalangan grassroot. Serta semakin membuat manusia tidak peduli terhadap persoalan perubahan sosial, manusia semakin memarginalkan masyarakat yang tidak mempunyai akses dengan pembangunan.
Syaratnya menurut Muslim, dalam buku “Islam Transformatif” (1997), agama mampu independen dari struktur yang mungkin menjeratnya. Dalam setiap faset perkembangan sosial, kemungkinan lahirnya struktur yang menjebak agama itu tetap ada, kendati mulanya agama menjadi pemrakarsa perubahan itu sendiri. Seorang pemimpin agama yang dengan keberanian berhasil melakukan perubahan masyarakat dengan menawarkan tema-tema moral dan konsolidasi spiritual, tetapi dalam proses berikutnya, tulis Moeslim lagi, tidak mustahil cenderung terjebak sendiri dalam rutinitas karismanya saja, tatkala ia melihat perlunya mengambil langkah-langkah stabilisasi atau pembirokrasian.
Ikhtiar Mengaca Diri
Problem aktual yang menyita bangsa ini adalah masih membengkaknya jumlah orang miskin dengan berbagai sebab dan musababnya yang sangat kompleks. Salah satunya adalah terkait dengan pengelolaan atau tata kelola negara yang berdampak sumber daya alam yang melimpah belum sepenuhnya bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, aset nasional hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia. Dalam laporannya, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di Istana Wakil Presiden, Rabu, 9 Oktober 2019 menyebutkan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.
Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto, mengatakan tingkat kemiskinan terus menurun dari 11,2 persen pada Maret 2015, menjadi 9,41 persen pada Maret 2019. Untuk pertama kalinya tingkat kemiskinan menjadi 1 digit mengingat semakin kecil tingkat kemiskinan semakin sulit untuk menurunkannya. Ironisnya, terdapat konsentrasi aset nasional, pada sebagaian kecil kelompok terkaya di Indonesia. Bahkan Indonesia merupakan negara tertimpang keempat di dunia, di bawah pertama adalah Rusia, India, dan Thailand. Sebab satu persen orang di Indonesia menguasai 50 persen asetnasional, Jika naikan jadi 10 persen keluarga maka ini menguasai 70 persen. Artinya sisanya 90 persen penduduk memperebutkan 30 persen sisanya.
Sebagai umat Islam yang acapkali melaksanakan puasa dan zakat, dengan misi suci (mission sacred) mencetak muslim muttaqien, dengan adanya fakta sosial yakni: membludaknya jumlah kaum mustadafin dan bahkan di bulan Ramadhan dan jelang Idul Fitri membludak di tempat-tempat ibadah, pasar tradisional, bahkan hingga di pinggiran dan emperan jalan—merupakan kritik dan sekaligus tamparan. Meski demikian, karena dalam hidup bernegara diatur bahwa setiap orang mempunyai fungsi dan peran masing-masing sesuai kedudukan dan jabatannya, maka tamparan dan kritik tersebut terutama diarahkan kepada pengelola dan penyelenggara negara. Nota bene sebagiannya dan juga secara de facto adalah pelaku-pelaku puasa dan pemberi zakat. [rif]