Markah kelamin pada kata benda dalam Bahasa Indonesia menggejala sejak Orde Baru.
BARISAN.CO – Dalam kebiasaan berbahasa, ada kecenderungan masyarakat kita untuk membedakan laki-laki dan perempuan dengan cara memberi jenis kelamin pada kata benda.
Kita bisa melihatnya dari kata benda seperti pemuda-pemudi, saudara-saudari, karyawan-karyawati, dan lain-lain termasuk santriwan-santriwati. Kata berakhiran /-a/ maupun /-wan/ menunjukkan jenis kelamin laki-laki sementara sufiks /-i/ dan /-wati/ menunjukkan perempuan.
Sebetulnya hal ini bukanlah watak Bahasa Indonesia. JS Badudu, pakar bahasa, mengatakan Bahasa Indonesia tidak punya alat (bentuk gramatika) untuk menyatakan atau membedakan benda-benda jenis laki-laki dan perempuan.
Adapun jenis kelamin dinyatakan dengan pertolongan kata lain, yaitu penambahan kata laki-laki dan perempuan di belakang kata, misalnya siswa laki-laki dan siswa perempuan. Sedang untuk binatang memakai kata jantan dan betina, misalnya kambing jantan, buaya betina, tonggeret jantan, dan lain-lain.
Bahasa Orde Baru
Jenis kelamin pada kata benda sebetulnya bisa ditemui pada bahasa Inggris, Belanda, maupun Sansekerta—tiga bahasa ini banyak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Ada misalnya duke-duchess, tiger-tigress, steward-stewardess, dewa-dewi, betara-betari.
Tentu saja ada alasan mengapa tiga bahasa di atas memberi jenis kelamin pada kata bendanya. Namun, harus diingat bahwa aturan tertentu dalam masyarakat tertentu mempunyai dampak tertentu, yang mungkin tidak sama dengan aturan yang terdapat dalam masyarakat lain.
Menggunakan aturan bahasa lain kepada bahasa kita hanya akan membawa masalah. Sayangnya hal ini kurang diperhatikan. Praktik memberi kelamin pada kata benda justru meluas terutama sejak era Orde Baru.
Cara menyapa (saudara-saudari, putra-putri, pemuda-pemudi), cara menyebut profesi (wartawan-wartawati, peragawan-peragawati, pramugara-pramugari), cara memarkah jabatan (bendahara-bendahari, salesman-saleswati), cara mengekspresikan kekaguman (setampan dewa dan bidadara-secantik dewi dan bidadari), dan lain sebagainya, pada akhirnya tunduk pada rezim bahasa seperti ini saat Presiden Soeharto berkuasa.
Jika ditelisik, agak sulit menemukan alasan kenapa marak sekali pemarkahan jenis kelamin pada kata benda saat itu. Kalaupun ada, besar kemungkinan alasannya mengada-ada.
Dengan memberi jenis kelamin pada kata benda, Bahasa Indonesia yang disponsori Orde Baru tampaknya berupaya efisien dalam bertindak; ia membidik dua sasaran sekaligus dengan sekali kerja, ialah memperjelas gender dan menimbulkan kebingungan. Yang kedua sudah terwujud.
Urusan gender sekarang bukannya semakin jelas. Upaya memberi jenis kelamin pada kata benda justru menciptakan bias gender. Bagaimana penjelasannya?
Bias Gender
Sebetulnya, tanpa jenis kelamin sekalipun, kata benda pada bahasa Indonesia bisa terpakai secara generik. Kata seperti wartawan, sejarawan, karyawan, ilmuwan, pada prinsipnya mengandung sifat netral. Artinya, baik laki-laki dan perempuan bisa menggunakannya.
Memberi kelamin justru hanya menambah bias. Jika kata karyawan bisa digunakan secara umum, kenapa harus ada kata karyawati yang hanya bisa digunakan perempuan? Jika siswa sudah merangkum keseluruhan gender, kenapa siswi harus disebutkan?
Bukankah imbuhan /-i/ maupun imbuhan /-wati/ justru mempertegas bahwa laki-laki dan perempuan tidak pernah bisa setara? Harusnya, penggunaan kata seperti karyawati tidak diuntukkan karena menunjukkan keberpihakan pada gender tertentu.
Karena itulah memarkahi kata benda dengan jenis kelamin pada akhirnya hanya membingungkan. Ada baiknya kita mengurangi kebiasaan-kebiasaan mubazir ini. Jika Anda seorang pejabat, atau pimpinan perusahaan, atau seseorang yang punya basis massa, mungkin menghilangkan kebiasaan ini adalah keharusan.
Mencari Kata Netral
Jika merasa bahwa kata seperti karyawan, sejarawan, wartawan, dan lain-lain tidak netral karena mencerminkan dominasi maskulin, tenang, Bahasa Indonesia adalah bahasa yang kaya. Banyak format istilah yang bisa menampung netralitas gender dalam bahasa.
Alih-alih menggunakan wartawan, semisal, kita bisa menggantinya dengan jurnalis. Langkah lain, kita juga dapat menghilangkan sufiks /-wan/ dan menggantinya dengan prefiks /pe-/ menjadi pewarta.
Aturan menyangkut prefiks /pe-/ terbukti lebih netral. Cermati penyebutan profesi seperti petani, pedagang, pegawai, perawat, pemadam kebakaran, penulis, dll., semuanya menggunakan aturan ini. Dan tanpa harus diberi jenis kelamin, kita langsung memahami profesi-profesi ini bisa dilakukan siapa saja.
Selain aturan tersebut, ada cara lain misalnya dengan agak memanjangkan penyebutan kata benda. Peragawan dan peragawati bisa diganti dengan peraga busana. Budayawan dan budayawati bisa diganti dengan pegiat budaya. Pemuda dan pemudi bisa diganti anak muda. Dalam berbahasa kita tak selalu harus berpendek-pendek kata.
Maraknya kata benda berkelamin barangkali adalah tanda kita perlu lebih giat mempromosikan aturan berbahasa, termasuk kata-kata berasosiasi netral yang ada dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia. [dmr]