TUJUH bulan kemudian, masih dari cerita Mohamad Jebara, Khadijah melahirkan seorang anak laki-laki. Muhammad menamai Al-Qasim.
Tentu saja, saya dan kita semua bisa membayangkan, sebagai seorang yatim piatu, betapa Muhammad penuh kekaguman menatap putra sulungnya itu. Dengan nama Al-Qasim, pengisi kekosongan, seolah ia hendak mengatakan bahwa putranya telah turut mengisi kebelumsempurnaan pasangan baru itu.
Ya, Muhammad mengatakan kepada Khadijah bahwa dirinya, istrinya, dan juga kita semua ini adalah manusia yang belum sempurna. Ibarat angka 99, angka yang belum selesai, atau tepatnya nyaris selesai. Dan anak dalam sebuah keluarga merupakan penggenap kekurangan, sehingga mencapai bulat penuh.
Makna “belum sempurna” ini juga menyeret pada pemahaman bahwa kehidupan ini memang dihadapkan pada keadaan yang nyaris selesai. Bahwa kehidupan tidak akan selesai sebelum setiap individu turut serta beramal menyambung estafet kehidupan sebelumnya.
Itulah sebabnya, kita mengenal doktrin bahwa manusia pada aslinya baik, dan dinyatakan pula bahwa tidak adanya amal baik akan menghancurkan kesempurnaan aslinya.
Nah, Jebara melanjutnya kisahnya, setelah Al-Qasim cukup besar, Muhammad kerap membawanya berjalan-jalan di alam terbuka, dan mengajaknya bermain. Dalam hal ini, lagi-lagi Khadijah makin kesengsem pada Muhammad. Sebagai kepala rumah tangga, Muhammad mau terlibat dalam pengasuhan Al-Qasim, juga Abdullah, putranya yang kedua.
Padahal, dalam usianya yang sudah 28 tahun, dan telah menjadi salah seorang terkaya di Makkah, ia tetap mau mengganti baju anak-anaknya, memandikan mereka. Mengganti popok Abdullah. Menggendong Al-Qasim, dan membawanya ke pasar.
Namun, ujian Tuhan tetap berlaku. Di suatu malam, setelah menidurkan balita-balitanya itu, Muhammad berbincang kepada Khadijah untuk mengajak Al-Qasim berjalan-jalan. Dan esoknya, saat hendak membangunkan si sulung, didapatinya Al-Qasim sudah tak bernyawa.
Sungguh, betapa sedih tak terkira mendera Khadijah, yang saat itu tengah hamil anak yang ketiga. Sedang Muhammad, dengan tabah mempersiapkan pemakaman putra sulungnya. Dengan didampingi keluarga besar dan sahabatnya, Abu Bakar, saat itu masih bernama ‘Atiq, Muhammad menguburkan jenazah Al-Qasim.
Selang beberapa bulan kemudian, Khadijah melahirkan bayi perempuan yang diberi nama Zainab. Bayi cantik ini diharapkan turut membantu Abdullah untuk bisa menyempurnakan pasangan Muhammad-Khadijah.
Namun, seperti halnya sang kakak, Abdullah ternyata turut menyusul pulang kepada-Nya. Ya, kepulangan yang sungguh mendadak, dan tanpa tanda, persis Al-Qasim. Muhammad, dan lebih-lebih Khadijah, sangat terpukul dengan kepulangan putra kedua.
Muhammad berusaha menenangkan emosi Khadijah, dan bisa menjaga kondisi kandungan anaknya yang keempat. Kemudian, persis ketika Muhammad berusia 30 tahun, sang jabang itu pun lahir, dan sangat cantik, serta diberinya nama Ruqayyah.
Berikut saat berusia 32 tahun, lahir lagi seorang putri, Ummu Kultsum. Dan tiga tahun kemudian lahir Fathimah. Namun, dua tahun sebelum kelahiran putri keempat ini, Abu Thalib berada dalam kesulitan finansial yang berat. Sehingga, Muhammad membawa Ali, yang berusia lima tahun, sebagai anggota keluarga.
Fathimah lahir. Dan kelahirannya ini menjadi penutup Khadijah untuk bisa hamil atau melahirkan lagi putra-putri Muhammad. Muhammad pun menamai Fathimah untuk putri bungsunya ini karena terkesan dengan bibinya yang telah mengasuh dirinya sedemikian rupa. Fathimah, sang bibi, menyayangi Muhammad, sangatlah menyayangi.
Dan waktu membuktikan, kita ketahui dalam riwayat-riwayat, Fathimah sang putri bungsu Muhammad ini memiliki peri perangai persis ayahnya. Ia berperasaan halus, bertutur kata luwes dan jelas, serta penuh percaya diri.
Demikian, bahwa akhirnya keempat putri itulah, beserta putra angkat Zaid dan Ali, yang menyemarakkan rumah tangga Khadijah bersama Muhammad. Rumah tangga mereka Bahagia. Muhammad mengagumi putri-putrinya: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah.
Ungaran, 27 Maret 2023