Setelah bait pembuka yang berisi pujian, barulah Abu Madyan mengalirkan deras permohonan ampun. Berkali-kali ia mengulang, “Astaghfirullah…” yang berarti “Aku memohon ampun kepada Allah”.
Repetisi ini bukan sekadar retorika, tapi merupakan bentuk dzikir yang menghidupkan kesadaran akan dosa, kesalahan, dan kelemahan manusiawi. Ia mengakui kesalahan yang berasal dari ucapan, tabiat, penglihatan, pendengaran, lintasan pikiran, bahkan dari bentuk lahiriahnya.
Bahkan yang lebih menggetarkan, ia memohon ampun atas apa yang tidak ia ketahui. Ini adalah bentuk puncak kerendahan hati: mengakui bahwa bisa jadi kesalahan telah terjadi meskipun tidak disadari.
Dalam dimensi tasawuf, syair ini adalah cerminan konsep al-ma’rifah mengenal Allah dimulai dengan mengenal diri.
Abu Madyan menyadari bahwa di balik tampilan lahiriah yang mungkin terlihat baik, masih banyak dosa-dosa yang tersembunyi. Ia juga mengakui bahwa keburukan bisa berasal dari watak dan karakter dirinya sendiri.
Permintaan ampun tidak berhenti di perbuatan masa lalu, namun juga pada watak yang belum bisa diperbaiki: “Aku memohon ampun dari tabiatku dan sifat asliku,” tulisnya.
Ini menunjukkan bahwa taubat bukan hanya penyesalan atas apa yang sudah berlalu, tetapi juga persiapan batin untuk terus berubah, bertumbuh, dan dibentuk kembali oleh kasih sayang Allah.
Uniknya, Abu Madyan tidak membatasi istighfarnya hanya pada dosa pribadinya. Ia memperluas permohonan ampun itu sebesar seluruh ciptaan.
Ia memohon ampun sebanyak jumlah huruf, ayat Al-Qur’an, hikmah, tumbuhan, hewan, awan, angin, makhluk halus, dan bangsa manusia dari Arab maupun non-Arab.
Syair ini juga menyinggung semua fase hidup: dari masa kecil hingga usia tua, dari tidur, sadar, mimpi, hingga gerak anggota tubuh.
Semua disebut sebagai potensi dosa. Ini mencerminkan kesadaran total seorang sufi bahwa setiap bagian dari kehidupan berpotensi ternoda dan karena itu harus dicuci dengan istighfar.
Makna Suci dalam Bahasa Puitik
Secara sastrawi, puisi ini adalah doa yang disulam dengan irama jiwa. Ia tidak hanya indah secara bahasa, tapi juga mendalam secara makna.
Mengulang “Aku memohon ampun kepada Allah” dalam konteks-konteks yang berbeda menegaskan bahwa dosa bukan hal yang statis, dan ampunan bukan hanya ritual, melainkan kondisi batin yang hidup.
Metafora seperti “Allah adalah pengendali bahtera di malam pekat” atau “penyelamat dari derita terdalam” membuat syair ini terasa seperti samudra makna yang tak bertepi.
Ia menjadikan angin, hujan, burung bernyanyi, hingga pergerakan jamaah haji sebagai saksi atas permohonan ampunannya.