Ibnu Arabi memiliki cara atau metode tersendiri dalam mengungkap rahasia-rahasia salat. Ia menuturkan bahwa Tuhan telah membagi alam dan waktu salat dalam tiga tingkatan.
SUNGGUH beruntung, Ibnu Athaillah menuntun kita agar lebih perhatian kepada penegakan salat, bukan pada wujudnya salat.
Jika yang kita tuju adalah wujudnya salat, maka kita pun asal melaksanakan. Dan tidak setiap melaksanakan salat berarti telah menegakkannya. Karena menegakkan mengandaikan istikamah dengan amalnya.
Ibnu Athaillah menuturkan bahwa dengan penegakan, niscaya hati ini bersih dan pintu-pintu kegaiban terbuka. Karena salat adalah tempat bermunajat dan menumpahkan kerinduan. Di dalamnya terbentang medan rahasia dan cahaya-cahaya bersinar.
Menegakkan salat berarti pula memperhatikan hak-hak dan batas-batas salat, serta memenuhi syarat-syaratnya.
Nah, dari untaian Ibnu Athaillah tentang salat, benak saya langsung dipenuhi oleh sosok kontroversial Ibnu Arabi.
Ibnu Arabi memiliki cara atau metode tersendiri dalam mengungkap rahasia-rahasia salat. Ia menuturkan bahwa Tuhan telah membagi alam dan waktu salat dalam tiga tingkatan.
Pertama, alam nyata, yakni alam indra dan penampakan. Dalam pagelaran alam indra, ditunjukanlah nama-nama-Nya yang dapat dilihat.
Allah itu Mahanyata (Azh-Zhahir), dan saat kebanyakan manusia tengah beroperasi mengukur ruang, meneguhkan eksistensi struktural. Saat yang demikianlah saat siang yang menjadi posisi salat zuhur dan ashar
Kedua, alam gaib, yaitu alam akal. Dan waktu malam menjadi domain akal dan pikiran atas segala sesuatu yang belum berwujud, atau masih gaib.
Para ahli malam, saat bermunajat kepada Tuhan dalam salat, ditunjukkan makrifat tentang rahasia-rahasia dan seluk beluk pengetahuan. Saat yang demikian menjadi domain salat isya dan salat malam.
Malam adalah waktu mi’raj nabi dan ruh-ruh para kekasih untuk melihat tanda-tanda ideal Ilahi dan kedekatan rohani. Itulah waktu yang mulia, ketika Al-Haq turun mendekat hamba-hamba-Nya yang beristighfar, bertobat, memohon dan berdoa.
Ketiga, alam imajinasi dan barzakh, yaitu turunnya makna-makna dalam bentuk yang terindra. Alam ini bukan alam gaib karena terselubungi oleh bentuk-bentuk yang terindra. Tetapi juga bukan alam nyata karena berupa makna-makna yang murni, yang luput dari materi.
Salat magrib dan subuh adalah waktu yang mengiring alam imajinasi. Keduanya merupakan waktu yang bukan malam dan bukan pula siang. Kedua waktu itu merupakan pemisah di antara siang dan malam. Dan orang yang bermunajat pada waktu ini, niscaya terbuka alam barzakh berupa petunjuk-petunjuk menuju Allah.
Salat magrib, keluarnya hamba dari alam nyata menuju alam gaib, yaitu dalam kedudukan indra yang memberikan bentuk kepada imajinasi. Imajinasi mengambilnya dengan kekuatan pikiran. Imajinasi yang mengantarkan kekasaran indra menuju kelembutan.
Ibnu Arabi menuturkan, dengan perantaraan ini, itulah kenapa salat magrib berekaat ganjil. Karena keganjilan yang melembutkan bentuk agar bisa diterima oleh alam gaib dan akal. Sebab akal tidak menerima bentuk yang kasar dan kegaiban tidak menerima hal yang nyata.
Pun saat salat subuh yang menjadi imajinasi keluarnya alam gaib menuju alam nyata dan indra. Imajinasi mengambil makna-makna murni dan rasional yang lembut dan hidup di malam, kemudian mengasarkannya dalam alam indra.
Contoh, bentuk rumah di dalam akal merupakan bentuk lembut yang rasional. Apabila imajinasi memandangnya, maka dengan kekuatannya, ia memberi bentuk, memisahkannya, dan mengasarkannya dari kelembutannya di dalam akal. Lantas, dalam membangunnya, indra mengumpulkan batu bata, pasir, dan segala sesuatu yang diimajinasikan untuk mewujud.
Hal lain yang juga menarik, Ibn Arabi mengatakan salat yang disyariatkan baik yang fardhu maupun yang sunnah muakkad terdiri delapan. Yakni salat fardhu lima waktu, salat witir, salat Jum’at, salat dua hari raya, salat gerhana, salat minta hujan, salat istikharah dan salat jenazah.
Istilah delapan itu pula yang melingkupi diri manusia: esensi (zat), kehidupan, pengetahuan, kehendak, pembicaraan, kekuasaan/kemampuan, pendengaran, dan penglihatan. Dan, organ-organ yang ditanggungkan ke manusia juga delapan, yakni telinga, mata, lidah, tangan, perut, alat kelamin, kaki dan hati.
Kemudian, rahasia atau makna simbolik dari Ibnu Arabi yang lain, salam. Salam tak sekadar menjadi penutup salat. Tetapi sebagai pembuka dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Salam merupakan permohonan izin kepada Allah, sekaligus tata cara pembuka dialog dengan manusia dan lingkungan.
Tatkala salat, ucapan salam meniscayakan segala sesuatu selain Allah adalah gaib. Dan kemudian akan mewujud nyata seusai salat. Artinya, salam adalah penanda bahwa Allah Mahagaib sekaligus Mahanyata. Allah adalah Maha Tersembunyi sekaligus Mahatampak.
Begitulah. Ibnu Arabi mengurai rahasia salat. Sementara Ibnu Athaillah seraya menepuk pundak berbisik, “Allah membatasi ketaatan itu hanya pada waktu-waktu tertentu, agar perhatianmu tertuju pada kesempurnaan salat, bukan pada adanya salat.”