DI ERA Orde Baru korupsi belum ada pasal UU nya. Tindak korupsi lebih disejajarkan dengan soal subversi. Hingga pejabat yang mau korupsi dihantui oleh ancaman cap subversif. Ada narasi di tengah masyarakat: di era Orba yang korupsi cuma satu, menginjak reformasi setiap orang korupsi.
Di era Orba Teater RSPD Tegal pernah mau pentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Judul lakonnya, Sang Koruptor. Tetiba Yono Daryono sang sutradara diundang Walikota, dicecar pertanyaan represif: mengapa judulnya Sang Koruptor. Alhasil Teater RSPD dibolehkan pentas di Jakarta, asalkan judulnya tidak ada kata Korupsi.
Korupsi seakan menjadi otonom sang despot. Hingga tigapuluh empat tahun, negeri ini mencatat sejarah kekuasaan. Satu oligarki yang dibayar dengan jutaan nyawa dikorbankan, dengan dalih kudeta gagal. Subversi berhadapan dengan otonomi korupsi Tunggal.
Lanjut pesta besar reformasi ditandai anti Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN), lalu muncul UU Korupsi menyusul dibentuknya KPK. Toh tindak korupsi justru merebak, nyaris tidak bisa diberantas ke akarnya. Rakyat bertanya-tanya: di tanah mana korupsi berakar dan tumbuh tanpa bisa dielakkan.
Sebutlah dimulai dari kasus korupsi di awal reformasi yang memenangkan satu partai baru. Selalu pelakunya lenyap, atau dikabarkan lari ke luar negeri. Muncul istilah korupsi berjamaah. Semisal korupsi bersama, si maling yang konangan disuruh ngumpet agar yang lain selamat.
Hingga korupsi seorang tokoh politik dari partai besar, dengan modus sama sebangun. Menyusul tokoh politik lain, dan sederet tokoh parpol. Di antara itu bilangan korupsi mencapai puluhan, bahkan ratusan triliun. Baik dengan pelaku tangkap tokoh parpol atau di lingkaran institusi pajak.
Fenomena ini menjadi penanda, sistem banyak partai menjadi persoalan besar bagi satu negara. Terutama, di bidang korupsi atau KKN. Hingga muncul kemudian istilah miskin ekstrim. Betapa kenyataan membuktikan, perbedaan kaya dan miskin makin menajam di negara demokrasi. Ya, justru di negara yang meneriakkan reformasi dengan tameng anti KKN.
Rakyat pun bertanya, bagaimana untuk memberantas korupsi. Sambil memberi solusi, apakah perlu dibuat UU hukuman mati. Bagi koruptor yang mencuri uang rakyat lebih dari satu milyar, dikenakan hukuman tembak mati.
Di pihak lain, wakil rakyat pun menempelak, bukankah itu artinya bunuh diri? [Luk]