Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
RASIO perpajakan pada tahun 2022 dikemukakan oleh Pemerintah mencapai 10,39%. Meningkat cukup signifikan dibanding tahun 2021 yang 9,12%. Bahkan, rasio tahun 2020 sempat mencapai tingkat terendah selama era reformasi, yaitu hanya 8,33%.
Rasio tahun 2022 sebesar 10,39% tersebut dihitung dari realisasi Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.034,55 Triliun dan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) harga berlaku sebesar Rp19.588,45 Triliun. Pada tahun 2021, Penerimaan Perpajakan sebesar Rp1.547,84 Triliun dan PDB sebesar Rp16.970,79 Triliun.
Pengertian atau definisi yang dikemukakan Pemerintah kepada publik mengalami beberapa kali penggantian. Tiap definisi sebenarnya dapat tetap dihitung dari data APBN. Jika membandingkan antar tahun mesti dengan definisi yang serupa, atau secara “apel dengan apel”.
Dikenal tiga istilah, yaitu: rasio perpajakan, rasio pajak dalam arti sempit, dan rasio pajak dalam arti luas. Semua definisi rasio menggunakan PDB sebagai besaran penyebutnya.
Penerimaan Perpajakan disajikan dengan beberapa cara selama beberapa tahun terakhir. Namun sebenarnya tetap mencakup: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Cukai, Pajak Perdagangan Internasional (Bea masuk dan bea keluar), serta Pajak lainnya.
Pendapatan Pajak dalam arti sempit merupakan penerimaan perpajakan dengan penecualian pendapatan cukai dan pajak perdagangan internasional (bea masuk dan bea keluar).
Pengecualian tersebut penting untuk analisis karena perbedaan filosofis pungutan keduanya dibanding jenis yang lain. Pendapatan cukai sejatinya bukan ditargetkan terus meningkat, melainkan bagian upaya pengendalian konsumsi tertentu seperti rokok (tembakau). Bea masuk dan bea keluar merupakan bagian dari kebijakan ekspor impor.
Pendapatan pajak arti sempit pada tahun 2022 sebesar Rp1.807,67 Triliun. Dengan demikian, rasio pajak arti sempit sebesar 9,23%.
Beberapa tahun lalu sempat dipopulerkan pengertian pajak dalam arti luas. Dalam definisi ini, nilai penerimaan perpajakan ditambahkan dengan pendapatan Sumber daya Alam (SDA). Pendapatan SDA dalam APBN sebenarnya dicatat sebagai salah satu item Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Penerimaan pajak dalam arti luas pada tahun 2022 mencapai Rp2.303,32 Triliun. Diperoleh dari nilai penerimaan perpajakan sebesar Rp2.034,55 Triliun dan Pendapatan SDA sebesar Rp268,77 Triliun. Rasionya atas PDB sebesar 11,76%.
Target dan asumsi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2024 bisa menjadi dasar prakiraan penerimaan pajak semua jenis. Target penerimaan Perpajakan sebesar Rp2307,86 Triliun, pendapatan Pajak arti sempit sebesar Rp1.986,88 Triliun, dan Pajak arti luas sebesar Rp2.505,67 Triliun.

Berdasar asumsi RAPBN tahun 2024, dapat diprakirakan pula nilai PDB harga berlaku tahun 2024, yaitu sebesar Rp22.830,79 Triliun. Dengan demikian diperoleh prakiraan sebagai berikut: rasio Perpajakan (10,11%), rasio Pajak arti sempit (8,70%), dan rasio Pajak arti luas (10,97%).
Berdasar data realisasi dan prakiraan dua tahun terakhir, maka tampak rasio pajak dalam semua definisi cenderung menurun pada era Presiden Jokowi. Meski sempat meningkat pada tahun 2021 dan 2022, diprakirakan menurun pada tahun 2023 dan 2024.
Ketika memulai pemerintahan, rasio pada tahun 2014 sebagai berikut: rasio Perpajakan (10,85%), rasio Pajak arti sempit (9,32%), dan rasio Pajak arti luas (13,13%).
Dapat dilihat rata-rata rasio era Presiden Jokowi pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2024, sebagai berikut: rasio Perpajakan (9,90%), rasio Pajak arti sempit (8,49%), dan rasio Pajak arti luas (10,82%).
Lebih rendah dibandingkan rata-rata era Presiden SBY, tahun 2005 sampai dengan tahun 2014, sebagai berikut: rasio Perpajakan (11,59%), rasio Pajak arti sempit (10,00%), dan rasio Pajak arti luas (14,86%).
Meskipun rasio pajak berbagai definisi cenderung menurun pada era Presiden Jokowi, tidak boleh direkomendasikan pada Pemerintah era berikutnya agar menggenjot penerimaan pajak secara membabi buta. Diperlukan kajian objektif, serta kebijakan dengan pertimbangan komprehensif dan berperspektif jangka panjang. Pajak bukan semata soal pendapatan negara, melainkan alat fiskal untuk menciptakan keadilan ekonomi. [rif]