POSISI utang pemerintah pusat per akhir Maret 2023 menurut Kementerian Keuangan telah mencapai Rp7.879 Triliun. Sedangkan rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 39,17%. Pemerintah menilai kondisinya aman karena di bawah batas yang diperbolehkan Undang-Undang yang sebesar 60%.
Posisi nominal dan rasio utang tersebut sebenarnya jauh lebih tinggi dibading era sebelum pandemi. Pada akhir tahun 2019, posisi utang masih tercatat sebesar Rp4.779 Triliun dengan rasio sebesar 30,19%. Pemerintah berdalih, lonjakan nominal utang dan rasionya ini terutama sebagai dampak pandemi covid.
Laporan International Monetary Fund (IMF) selama tiga tahun terakhir memang mengungkapkan meningkatnya utang pemerintah dan rasionya di seluruh negara. Laporan IMF terkini (April 2023) memprakirakan rasionya tetap tinggi pada banyak negara, hingga beberapa tahun lagi. Kondisi itu menimbulkan tantangan yang makin besar bagi pembuat kebijakan, mengingat adanya beberapa dinamika terkini.
Antara lain berupa pengetatan kondisi keuangan global, lemahnya prospek pertumbuhan ekonomi, dan dolar AS yang cenderung menguat. Dan terutama karena suku bunga riil meningkat di seluruh dunia.
IMF juga mengingatkan risiko akibat peningkatan dalam kepemilikan utang pemerintah oleh pihak dalam negeri, khususnya lembaga keuangan di pasar negara berkembang.
Dinilai memperburuk biaya utang, termasuk membatasi sumber daya yang tersedia bagi institusi domestik untuk memberikan pinjaman kepada sektor swasta. Disinggung pula risiko bagi bank-bank yang makin bergantung pada kondisi fiskal pemerintahnya.
Pemerintah Indonesia tampaknya cukup menyadari tantangan soalan utang ini. Dokumen “Informasi APBN 2023” menyebutkan tantangan pembiayaan utang yang tengah dihadapi. Disebutkan antara lain: volatilitas dan pengetatan likuditas pasar keuangan global, potensi capital outflow dari emerging market, potensi turunnya minat Investor, serta potensi kenaikan imbal hasil SBN.

Bagaimanapun, Pemerintah hanya menargetkan rasio utang yang bertahan di kisaran 40% hingga tahun 2025. Target ini dinyatakan secara eksplisit dalam Nota Keuangan dan APBN tahun 2023. Rasio sebesar itu dianggap aman karena masih jauh di bawah 60% yang menjadi batas menurut Undang-Undang.
Perlu diketahui bahwa UU tentang Keuangan Negara dimaksud tidak menyatakan soal amannya rasio, melainkan batas yang tak boleh dilampaui. Saat penetapannya, rasio masih sebesar 61% pada tahun 2003. Rasio sedang dalam tren menurun dari tahun 2000 yang mencapai 88,81%.
Dari catatan masa lalu, rasio utang hanya sebesar 24% pada akhir tahun 1996. Kemudian meningkat antara lain sebagai dampak mulainya krisis, menjadi 38% pada akhir tahun 1997. Rasionya melesat menjadi 83% pada akhir tahun 1998.
Posisi nominal utang Pemerintah sebenarnya relatif stagnan pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2006, di kisaran Rp1.225-Rp1.300 Triliun. Oleh karena PDB nominal terus meningkat, maka rasionya pun menurun. Rasio tercatat sebesar 39% pada akhir tahun 2006.
Penurunan rasio masih berlangsung ketika posisi nominal utang cenderung bertambah pada tahun-tahun selanjutnya. Rasio terendah dicapai pada tahun 2012 yang hanya sebesar 22,95%. Kemudian meningkat lagi, hingga mencapai 24,68% pada tahun 2014.
Data perkembangan rasio utang menunjukkan terjadi pembalikan arah kecenderungan selama era pemerintahan Presiden Jokowi yang pertama. Ada kenaikan rasio sebesar 5,55% poin. Dari sebesar 24,68% pada akhir tahun 2014 menjadi 30,23% pada akhir tahun 2019.
Dengan data tersebut, kenaikan rasio dari akhir tahun 2019 hingga kini jelas tidak sepenuhnya karena pandemi covid. Jika target Pemerintah terpenuhi, rasio bisa dipertahankan kisaran 40%, maka terjadi kenaikan sekitar 10% poin dibanding akhir tahun 2019.
Terlepas dari rasio terkini dan target Pemerintah tahun-tahun mendatang masih di bawah batas UU, seharusnya ada upaya serius untuk menurunkannya kembali.
Sebagaimana disebut di atas, posisi nominal utang sempat dipertahankan stagnan pada era pemulihan ekonomi paska krisis. Bahkan, rasio utang berhasil diturunkan secara sangat signifikan.
Upaya menurunkan rasio utang terhadap PDB sangat ditentukan oleh konsolidasi fiskal yang tepat waktu dan dirancang dengan tepat. Konsolidasi fiskal artinya mengelola pendapatan dan belanja (APBN) secara sangat berhati-hati.
Terutama tidak memaksakan pos-pos belanja negara yang tidak mendesak, yang tak berkaitan langsungdan segera kehidupan rakyat dan keberlangsungan negara.