KADO spesial apa yang bisa kita berikan untuk anak? Pertanyaan penting buat orangtua, dan terus terang saya dan istri termasuk jenis orangtua yang tak bisa menghadiahi barang-barang berharga.
Nah, kami bersepakat memilih cara murah yang ditawarkan Jim Trelease.
Dalam bukunya, Read-Aloud Handbook, Jim menjelaskan pentingnya membacakan buku cerita dengan cara lantang, read aloud. Menurutnya, hal ini merupakan hadiah paling berharga yang dapat kita berikan kepada anak. Juga akan menyemaikan hubungan cinta sepanjang hayat antara orangtua dan anak, anak dan buku.
Bagaimana, murah bukan? Terus kenapa pilihannya mesti lantang?
Menarik untuk dicermati. Pertama, ketika kita membaca lantang, sama artinya kita tengah mengondisikan otak si anak untuk mengasosiasikan membaca dengan kebahagiaan. Bahwa membaca itu nikmat. Sehingga kelak di kemudian hari si anak akan dengan senang hati membaca buku sebagai kesukaan, bukan beban.
Berbeda misal, ketika seorang anak jarang mengalami “nikmatnya” membaca, maka secara alami si anak akan menarik diri dari membaca. Membaca sebagai beban.
Kedua, membacakan lantang itu akan memberikan kesan pada anak bahwa kita memang sosok panutan yang gemar membaca. Sehingga, akhirnya anak tumbuh meremaja di tengah keluarga yang menjadikan buku sebagai “makanan”. Buku menjadi makanan bagi si anak yang kelaparan.
Charlotte Mason, sebagaimana dielaborasi Ellen Kristi dalam Cinta Yang Berpikir, juga menganjurkan read aloud. Lebih jauh, Ellen, dalam bagian ketiga, membandingkan praktik antara storytelling dengan membacakan living books.
Memang ia tidak sampai melarang untuk bercerita lisan, tetapi membacakan buku cerita akan jauh lebih mengayakan anak. Bahwa pilihan kosakata, wawasan bahasa, dan gaya bercerita dari para penulis asli dan terbaik akan tertanam pada diri anak.
Terus begini, Charlotte Mason juga bilang, landasan terbaik untuk menanamkan kebiasaan cinta membaca adalah usia sampai dengan 12 tahun. Jika selama 12 tahun pertama kehidupannya, seorang anak tidak menangkap impresi bahwa membaca itu menyenangkan, kemungkinan besar ia akan bertumbuh dewasa menjadi pribadi yang tidak gemar membaca.
Dan semakin bertambah umurnya, semakin terbiasa ia tidak membaca, makin sulit pula kita mengubahnya menjadi orang yang gemar membaca. Ada beberapa kawan yang gemar membaca, dan saya tahu itu bukan kegemaran yang datang secara tiba-tiba. Ada proses panjang yang melatarbelakangi timbulnya kegemaran itu.
Namun, saya juga yakin kegemaran membaca itu tidak datang dari sekolah, tetapi keluarga. Sekolah umumnya mahir membuat benak anak-anak berolah raga – menghafal, berhitung, menalar, aneka latihan dan drill akademis. Tetapi sudahkah tersedia makanan yang cukup bagi pikiran mereka? Olah raga itu bagus, tapi hanya jika kebutuhan nutrisi anak telah terpenuhi. Terlalu banyak olahraga dengan terlalu sedikit asupan hanya membuat anak kelelahan, hal ini berlaku baik secara fisik maupun mental.
Sungguh, bukan anak yang salah kalau dia besar menjadi orang yang tidak suka membaca. Anak-anak yang sehat jasmani pasti merasa lapar, pasti mencari makanan. Begitu pula anak-anak yang sehat pikiran pasti punya rasa ingin tahu yang besar, pasti suka belajar.
Maka, ketika anak membaca hanya kalau bacaan itu akan keluar dalam ujian, kita perlu waspada. Sakit pikiran apakah gerangan yang anak ini derita sehingga nafsu belajarnya hilang? Seperti dokter yang mencari tahu apa yang menyebabkan selera makan seorang anak terganggu, patutlah kita menyelidiki dengan seksama: apa yang membuat keinginan belajarnya padam?
Nah, dari situ, dulu tatkala anak-anak masih 12 tahun ke bawah, saya dan istri rada rewel soal kegemaran baca buku. Saya ngotot bahwa orangtua harus jadi contoh. Dan anak menghirup udara baca buku di rumah.
Kemudian upaya menarik bahwa buku pun asyik, kami tempuh dengan read aloud. Dan kini sedikit banyak saya bisa merasakan manisnya buah “read aloud”. Kedua anak saya itu cinta membaca. Malah bisa dikatakan: mereka keranjingan membaca. Jadi dalam keluarga kecil saya, membaca tidak lagi identik dengan kebosanan. Membaca pun bisa jadi kegiatan yang menyenangkan.
Satu lagi yang menarik, Jim Trelease menegaskan bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai read aloud. Kita juga tidak lantas berhenti membacakan buku, meski anak-anak sudah bisa membaca sendiri.
Sungguh, read aloud adalah kado spesial itu, yang akan memperbaiki kemampuan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Maka, tunggu apa lagi?