“BANGSAT! Dasar Anjing penjilat!” umpat Kohar sambil membantingkan tongkat pemukulnya ke atas meja pos ronda. Para lelaki kampung yang malam itu kebetulan mendapat giliran jaga bersama Kohar hanya terdiam membisu sembari memperhatikan raut muka Kohar yang sudah dipenuhi amarah tersebut.
“Terus Kita akan bertahan sampai kapan Kang?” tanya Supri dengan nada yang terdengar sudah hampir putus asa. Belum sempat Kohar menjawab pertanyaan Supri, tiba-tiba dari arah selatan terdengar Janto berteriak-teriak minta tolong. Spontan para lelaki kampung yang tengah berjaga-jaga di pos ronda tersebut berdiri dan dengan segera mengambil pentungannya masing-masing. Keletihanpun segera sirna berganti dengan ketegangan.
“Apa yang terjadi di pos selatan?” tanya Kohar setelah Janto berdiri tepat di hadapan Kohar. Nafasnya naik turun sambil tangannya menunjuk ke arah selatan. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
“Anu Kang!” ucap Janto tersengal-sengal disertai nafasnya yang masih terus memburu.
“Anu apa?” tanya balik Kohar tak sabar. Diguncang-guncangkannya pundak lelaki bertubuh kerempeng tersebut dengan keras. Dengan begitu, kohar berharap Janto segera dapat mengatasi kepanikannya.
“Polisi dan tentara telah menerobos barikade yang kita pasang Kang! Beberapa rumah telah berhasil diterjang oleh buldozer!” ucap janto terbata-bata. Tubuhnya gemetaran menahan kesedihan sekaligus amarah.
Mendengar Polisi dan tentara telah berhasil menerobos barikade yang dipasang oleh warga kampung, spontan tanpa ada yang memberi komando, para lelaki kampung itupun segera berlari berhamburan ke arah selatan tempat dimana Janto dan teman-temannya berjaga-jaga.
Para lelaki kampung itu tahu persis bahwa mereka tak akan sanggup menghadapi amukan buldozer, tapi naluri untuk mempertahankan hak dari penggusuran dan melawan kesewenang-wenangan itu telah mengalahkan rasa takut mereka sendiri.
“Bangsat! Dasar antek-antek keparat!” umpat Kohar sambil berlari menyusul teman-temannya diikuti oleh Janto.
Di langit terlihat bulan seperti enggan bersinar. Makhluk penghias langit itu seperti tak ingin menyaksikan tumpahnya darah orang-orang kampung yang hendak digusur tersebut. Konon kabarnya kampung Kohar yang hanya sebuah pulau kecil itu hendak dijadikan pusat bisnis guna mendongkrak devisa negara.
Kampung Kohar yang menghadap ke arah negeri tetangga itu memang memiliki potensi yang membuat para taipan menelan ludah. Gayung bersambut, konon kabarnya pula pemerintah juga menyetujui keinginan para taipan tersebut.
Alasannya tentu saja untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kohar dan ratusan warga yang sudah turun temurun tinggal di kampung tersebut harus digusur. Apalagi mereka tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah atas kampung tersebut.
Ketika Kohar telah sampai di pos jaga selatan kampung, kedatangannya telah disambut oleh suara-suara yang memekakan telinga. Suara itu berasal dari lengan buldozer yang menghantam dinding-dinding rumah warga kampung. Tak hanya itu saja, suara itu juga tumpang tindih dengan teriakan histeris ketakutan dari para perempuan kampung.
Tak pelak lagi semakin menambah pilu suasana malam itu. Kohar segera memerintahkan para laki-laki kampung untuk mengungsikan para perempuan dan anak-anak ke tempat yang lebih aman. Sementara ia dan lelaki kampung yang lain memasang beberapa penghalang guna menghentikan laju buldozer.
Dan ketika Kohar beserta beberapa laki-laki kampung hampir saja berhasil menjangkau buldozer, beberapa polisipun segera melemparkan gas air mata ke arah Kohar dan kawan-kawannya. Tak ayal lagi, Kohar dan para lelaki yang hampir saja berhasil mendekati buldozer itu lari tunggang langgang demi menghindari amukan gas air mata.
Belum jauh mereka berlari, Tiba-tiba terdengar suara berdebum yang sedemikian kerasnya. Bunyinya seperti benda keras, berat dan besar dijatuhkan dari langit. Dan sedetik kemudian terdengar bunyi yang sama lalu disusul oleh aba-aba untuk mundur yang diteriakkan oleh komandan polisi.
Belum sempat komandan polisi memerintahkan anak buahnya untuk mundur yang kedua kalinya, kini terdengar lagi bunyi berdebum yang lebih keras dibanding dengan 2 suara sebelumnya. Sedetik kemudian terdengar seperti bunyi ledakan beberapa kali yang disusul dengan suara menjerit-jerit yang memilukan hati.
Dari jarak yang cukup jauh Kohar dan para lelaki kampung hanya dapat terdiam melihat pemandangan yang serba ganjil tersebut. Dua Buldozer yang hampir saja menyentuh pabrik krupuk dan rumah Mbak Menuk itu tiba-tiba seperti tertahan benda besar. Tak sejengkalpun buldozer itu dapat maju.
Terlihat sosok bayangan hitam seperti menahan laju 2 buldozer yang menggila tersebut. Tak lama kemudian sosok bayangan hitam yang seperti raksasa itu segera mengangkat salah satu buldozer dan membantingkannya tepat di depan para polisi dan tentara yang tengah berjaga di belakang buldozer tersebut.
Beberapa polisi dan tentara yang tak sempat berlari menghindar tertimpa buldozer yang dibanting oleh sosok bertubuh tinggi besar tersebut. Belum sempat polisi dan tentara itu tersadar, buldozer yang satunya lagi juga terlihat diangkat dan dibantingkan oleh sosok tinggi besar tersebut. Kepanikanpunsegera menjangkiti polisi dan tentara yang ditugaskan untuk menggusur kampung Kohar tersebut.
Dan kepanikan itupun segera mencapai puncaknya ketikasosokbertubuh besar tersebut membanting sebuah truk yang tadi digunakan untuk mengangkut polisi dan tentara. Tak ayal lagi api segera berkobar membakar truk tersebut. Beberapa polisi dan tentara yang dengan cepat tersadar segera menyarangkan beberapa peluru ke arah sosok bayangan bertubuh tinggi besar tersebut.
Namun demi mendengar suara tembakan yang menyalak dari senapan tentara, sosok bertubuh tinggi besar itu justru semakin beringas. Dibantingnya kembali sebuah truk yang terparkir dekat jembatan yang sekiranya memang sengaja disiapkan untuk mengevakuasi pasukan apabila terjadi kebuntuan.
Akibatnya, jembatan yang menghubungkan kampung Kohar dengan dunia luar itupun runtuh tertimpa truk tersebut. Di tengah suasana yang semakin mencekam dan kacau balau tersebut tiba-tiba terdengar suara Mbak Menuk seperti memecah kebisingan. Suaranya yang bercampur dengan isak tangis itu hampir saja tenggelam oleh suara kericuhan dan pontang-pantingnya pasukan polisi dan tentara yang berusaha untuk menyelamatkan diri.
“Hentikan ini semua Kang Rempang! Mereka hanya menjalankan tugas saja!”
“Sudah! Tak ada gunanya Kang Rempang melakukan ini semua! Kalau Kang Rempang memang mencintaiku, tolong hentikan ini semua!” teriak Mbak Menuk sambil bersimpuh di kaki sosok bertubuh tinggi besar yang dipanggil Kang Rempang tersebut. Untuk sementara waktu hanya terdengar suara ledakan-ledakan kecil daritangki bahan bakar truk. Semua yang menyakksikan kejadian tersebut hanya membisu menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Entah bagaimana, tiba-tiba saja sosok bertubuh tinggi besar itu lenyap dan selanjutnya berganti menjadi tubuh seorang laki-laki yang kurus kecil.
“Bukankah itu si Rempang buruh pabrik krupuk milik Mbak Menuk?” tanya Kohar kepada para lelaki kampung yang sedari tadi mengamati kejadian aneh dan tak masuk akal tersebut.
“Bagaimana Si Rempang bisa berubah menjadi raksasa yang sedemikian menakutkan tersebut?” tanya Janto tak percaya. Dan tentu saja tak seorangpun dapat menjawab pertanyaan Janto tersebut.
“Aku tidak rela jika oranglain menyakiti orang yang aku cintai Mbak!” jawab Rempang jelas terdengar oleh semua orang yang menyaksikan kejadian aneh malam itu.
“Tapi tidak dengan begitu caranya Kang!” jawab Mbak Menuk sembari meredam amarah Rempang.
“Aku ini hanya orang bodoh Mbak. Yang aku tahu hutang nyawa ya harus dibayar dengan nyawa pula. Mereka telah menggusur dan merusak rumah kita. Balasannya ya tentu saja mereka harus dihabisi!” jawab Rempang dengan suaranya yang masih penuh hawa amarah.
Semua orang mafhum, sejak juragan Sastro meninggal, otomatis pabrik krupuk terbesar di kampung tersebut menjadi milik Mbak Menuk sebagai anak perempuan semata wayangn dari juragan Sastro.
Dan entah bagaimana jalan ceritanya pula, gadis pewaris pabrik krupuk itu justru jatuh cinta kepada buruhnya sendiri. Cinta itu memang suka tampil aneh. Cinta itu bukan hanya memiliki jalan pikirannya sendiri. Tetapi ia juga tidak memiliki metodologi apalagi hipotesis.
“Kita ini hanya wong cilik Kang! Tentulah para pemimpin kita itu telah memiliki berbagai pertimbangan dalam menggusur kampung kita ini,” jawab Mbak Menuk sambil memeluk Rempang si buruh pabriknya tersebut.
“Aku ini hanya orang bodoh Mbak! Yang aku tahu yang disebut adil itu adalah hutang nyawa ya harus dibayar dengan nyawa!” ucap Rempang sekali lagi.
“Kalau memang Kang Rempang mencintaiku dengan tulus, Kang Rempang harus mengikuti kata-kataku. Hentikan ini semua,” Ucap Mbak Menuk penuh kelembutan.
Sedetik setelah ucapan Mbak Menuk usai, tiba-tiba saja terdengar 2 kali letusan dari sebuah senapan. Sejurus kemudian tampak sebuah peluru tepat bersarang di dahi buruh pabrik krupuk tersebut, Dan sebuah yang lagi tepat menembus dada Mbak Menuk. Sepasang kekasih beda kelas itupun roboh bersimbah darah.
Meski telah memakan 2 nyawa, penggusuran kampung itupun tetap dilakukan demi sebuah kata sakti bernama pembangunan. Dan Kita semua paham bahwa pembangunan itu untuk memanusiakan manusia bukan untuk menindas sesama.***