Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
PERTUMBUHAN ekonomi tahun 2022 mencapai 5,31%. Capaian ini dianggap cukup tinggi, sehingga diglorifikasi oleh Pemerintah. Besaran itu diklaim pula sebagai telah terjadinya pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi covid sejak tahun 2020.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2020 sempat terkontraksi atau minus 2,07%. Kemudian hanya tumbuh sebesar 3,69% pada tahun 2021.
Angka pertumbuhan ekonomi dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) harga konstan tahun 2022 dibandingkan dengan nilainya pada tahun 2021. PDB harga konstan tahun 2022 sebesar Rp11.710 Triliun, sedangkan tahun 2021 sebesar Rp11.120 Triliun.
PDB adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. Pengertian perekonomian merujuk kepada wilayah suatu negara, atau secara lebih luas adalah wilayah domestik. Kurun waktu tertentu yang baku adalah satu tahun menurut penanggalan, 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Semua barang dan jasa sebagai hasil kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik diperhitungkan tanpa memperimbangkan kepemilikan faktor produksinya. Mencakup yang dimiliki atau dikuasai oleh penduduk daerah tersebut atau oleh pihak asing. Hasil kegiatan ekonomi atau produksi tersebut sering disebut output.
Output dimaksud merupakan barang dan jasa akhir. Maksudnya jika masih dipakai sebagai bahan untuk memproduksi barang lainnya, maka tidak masuk dalam hitungan. Secara teknis, yang dihitung hanya nilai tambah saja dalam tiap tahapan hasil produksi.
Output berupa jutaan barang dan jasa yang diproduksi pada tahun 2022 bernilai Rp19.588,45 Triliun. Dinilai berdasar harga pasar pada tahun bersangkutan sehingga disebut PDB harga berlaku.
Output tahun 2022 bisa dihitung memakai harga tahun 2010 yang saat ini dipakai oleh BPS sebagai tahun dasar. Teknis perhitungannya memakai indeks harga. Hasilnya disebut dengan PDB harga konstan tahun 2022. Nilainya sebesar Rp11.710 Triliun.

Sebelum pandemi, selama periode pemerintahan Presiden Jokowi (2015-2019) rata-rata tumbuh sebesar 5,03% per tahun. Sedangkan pada dua periode era pemerintahan Presiden SBY (2005-2014) mencapai 5,72% per tahun. Bahkan, rata-rata pertumbuhan ekonomi era pemerintahan Presiden Soeharto (1969-1997) mencapai 6,77% per tahun.
Selain membandingkan rata-rata tingkat laju pertumbuhan ekonomi pada tiap era, bisa pula dengan cara membandingkan realisasi dengan targetnya. Target suatu era pemerintahan antara lain terdapat pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN ditetapkan oleh Presiden pada awal periode pemerintahannya.
Target RPJMN dalam hal laju pertumbuhan ekonomi berupa rentang besaran. Untuk analisis bisa saja diambil besaran yang merupakan titik tengahnya. Sebagai contoh target tahun 2022 menurut RPJMN 2020-2024 sebesar 5,7-6,0%, sehingga titik tengahnya sebesar 5,85%.
Laju pertumbuhan ekonomi selama era tahun 2005-2014 tercatat mencapai target sebanyak 3 kali. Hampir mencapai target, selisihnya kurang dari 0,5%, sebanyak 2 kali. Sedangkan laju yang tidak mencapai target sebanyak 5 kali.
Sementara itu, laju pertumbuhan ekonomi selama era tahun 2015-2022 tidak pernah mencapai target RPJMN. Bahkan, seandainya target APBN 2023 sebesar 5,3% tercapai pun, maka masih di bawah target RPJMN yang sebesar 5,85%.
Hal itu tidak semata karena dampak pandemi covid. Selisih antara capaian tiap tahun selama era tahun 2015-2019 justeru melebar. Sejak tahun pertama pemerintahan saja, targetnya meleset hingga 0,95%. Dan pada tahun 2019, akhir era pemerintahan Jokowi pertama, selisihnya mencapai 2,98% atau sangat jauh dari target. [rif]