Hidup penuh cobaan dan ujian adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya, oleh karena itu seorang hamba diperintahkan untuk sabar dan ikhlas menghadapi cobaan
BARISAN.CO – Seorang hamba dalam menjalani kehidupan terutama dalam menghadapi cobaan seringkali merasa kecewa, hati yang bergejolak dan bahkan sampai putus asa. Sehingga senantiasa seorang hamba diminta untuk sabar dan ikhlas menghadapi cobaan hidup ini dengan penuh penghambaan.
Terlebih lagi jika berkeinginan untuk tujuan yang lebih tinggi yakni menjadi ahli surga. KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menyampaikan untuk menjadi ahli surga kita tidak boleh menandingi Tuhan, menandingi kekuasaan Allah Swt.
“Sehingga syarat dasar masuk surga itu harus Abdullah atau kita berstatus seorang hamba. Ketika kita berstatus sebagai hamba-Nya maka ia berstatus layak sebagai ahli surga. Jadi gambarannya ini kita memantapkan dulu jangan ada status lain di hadapan Allah Swt,” terang Gus Baha.
Allah Swt berfirman dalam surah Al-Furqan ayat 75:
أُو۟لَٰٓئِكَ يُجْزَوْنَ ٱلْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا۟ وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَٰمًا
Artinya: “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya” (QS. Al-Furqan: 75)
Sebagai seorang hamba inilah, Allah Swt akan selalu menguji atau memberikan cobaan kepada hambaya. Jadi ketika kita mendapatkan ujian atau persoalan yang rumit, barangkali itulah bentuk kasih saya Tuhan kepada hambanya.
Oleh karena itu seorang hamba diminta untuk sabar dan ikhlas menghadapi cobaan. Tentu hal ini tidak mudah, perlu proses yang membutuhkan latihan dan kesadaran diri sebagai seorang hamba.
Allah Swt berfirman dalam surah An-Nisa ayat 125:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. An-Nisa: 125)
Proses inilah sebagai bentuk laku seorang hamba untuk memantapkan usaha dan menjadikannya memiliki keyakinan yang kokoh. Sehingga kedua sifat yakni sabar dan ikhlas mampu menjadi pegangan untuk menjalani kehidupan ini menjadi lebih baik.
Gus Baha memberikan resep agar kita memiliki sifat ikhlas yakni harus mengetahui jalan ikhlas itu sendiri.
“Jalan melatih ikhlas yakni dengan istikamah, karena dalam istikamah itu pasti ada lali (lupa)-nya. Nah, pas lupa itu momen ikhlas, tak ada kontrak apa pun dengan makhluk,” terang Gus Baha.
Sementara berkait dengan sabar Gus Baha mengatakan Allah itu maha baik sama saya, jika Anda marah, maka Allah memberikan pahala lewat sabar. Kalau Anda marah lalu saya balas marah, maka saya tidak jadi mendapat pahala.
Ulama kharismatik Nahdlatul Ulama (NU) juga menjelaskan tingkatan sabat atau maqam bagaimana agar bisa memiliki sikap sabar yakni; Pertama adalah meninggalkan keluhan. Kedua, rida terhadap sesuatu yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Ketiga, bahagia saat mendapat cobaan. Sebab yang memberi cobaan itu Allah.
Beliau menyebutkan bahwa dalam kitab Al Hikam dijelaskan, orang bisa protes mendapat cobaan itu karena tidak berpikir yang membuat cobaan itu siapa.
“Andaikan tahu dan yakin bahwa yang memberi cobaan itu Allah, pasti dia malu mau protes,” terang Gus Baha.
Sabar dan ikhlas menghadapi cobaan, keduanya ikatan yang kuat sehingga ketika diberikan cobaan inilah peluang untuk tumbuh dan berkembang secara pribada.
Melalui cobaan dan ujian persoalan hidup inilah kita akan banyak belajar dari pengalaman-pengalaman sulit tersebut, mengasah ketabahan dan kesaradan diri, serta memperkuat iman dan koneksi spiritual seorang hamba.
Hidup penuh cobaan dan ujian adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya. Dalam konteks ini, cobaan dan ujian dianggap sebagai cara Allah untuk membantu kita tumbuh dan berkembang sebagai individu yang lebih baik.
Dalam menghadapi cobaan, kita dipanggil untuk menjadi sabar, ikhlas, dan bertawakkal. Melalui proses ini, kita dapat mengasah karakter, memperkuat iman, dan memperdalam hubungan kita dengan Allah.
“Ikhlas Itu Mudah, jika kita memahami Semuanya adalah Pemberian dan Kehendak Allah.”
Ada seseorang yang bertanya kepada Syeikh Abul Abbas Al-Mursi. Dia bertanya tentang hal apakah yang membuat Allah benci..?”
Sesuatu yang membuat Allah benci yaitu hanya melihat kepada dirimu sendiri, artinya “Setiap amal yang dilakukan kita merasa atas peranan diri sendiri tanpa merasa ada campur tangan hidayah Allah.”
“Misalkan kita merasa sholat itu aku banget, sedekah aku banget.”
Dalam ilmu Tasawuf sebagaimana dikatakan dalam Kitab Sullamut Taufik karangan Syeikh Nawawi Al-Bantani, para Sufi itu menganggap bahwa segala sesuatu adalah Minallah dan Ilallah.
Bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah dan hanya untuk Allah. Bahwa Hidayah itu ‘Minallah’ /dari Allah, seperti saat kita mendapat hidayah dan memiliki uang untuk sedekah. Kemudian diperuntukkan untuk Allah dengan disedekahkan atau ‘ilallah’.
Ketika kita ditakdirkan sujud itu merupakan kehendak Allah, karena diberi kesehatan fisik, dengan paru-paru sehat dan jantung sehat. Lalu kita diberi keinginan bersujud atas kehendak Allah.
Apabila Allah telah memberi itu semua kepada kita apakah lantas kita lalu menuntut hadiah kepada Allah. Apakah itu berarti bukannya suatu hal yang tidak pantas kita lakukan.
Dalam syarah kitab Al-Hikam penjelasan dari Wasithy, murid Syeikh Ibnu Atho’illah dikatakan menuntut balasan atau upah atas amal taat, itu penyebabnya adalah lupa pada karunia pemberian Allah.
Seharusnya kita mengingat semua ini karunia pemberian Allah dan berterima kasih pada Allah sudah dikehendaki melakukan berbagai macam kebaikan.