Buku Bunga Rampai PKJS-UI bahkan dianggap layak menjadi rujukan.
BARISAN.CO – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis Buku Bunga Rampai berjudul “Investasi Generasi Emas: Kumpulan Kajian Upaya Pengendalian Tembakau untuk Mencapai Generasi Unggul di Indonesia” pada Rabu (12/7/2023). Dalam acara tersebut, para penanggap dari berbagai kementerian memberikan respons positif.
Dr. Amurwani Dwi Lestariningsih, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI sependapat dengan hasil kumpulan kajian dari PKJS-UI. Dia mengungkapkan, pengendalian tembakau ini memang menjadi hal yang sangat penting karena dampak dari rokok menyerang berbagai aspek.
“Kalau dikaitkan dengan generasi emas 2045, tugas kita adalah bagaimana cara menjadikan generasi ini terputus dan tidak menjadi pengguna dari rokok itu sendiri,” ungkap Amurwarni.
Amurwani mengusulkan, mendorong pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah untuk mewujudkan Kota Layak Anak. Hal itu sesuai dengan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 melalui perluasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Dengan adanya penguatan regulasi pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok, Amurwani menjelaskan, anak-anak tidak terpengaruh dengan glamorisasi dari rokok yang berusaha memberikan image “keren”.
Amurwani juga mendukung upaya standarisasi kemasan dan kenaikan harga jual rokok untuk menghambat akses atau menjauhkan keterjangkauan anak-anak terhadap produk rokok.
Penanggap selanjutnya, yaitu Sarno, SST., M.Sc., M.Buss, Ak. CA, Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI menyampaikan, kumpulan kajian yang telah disusun oleh PKJS-UI sudah dijadikan bahan Kemenkeu untuk didiskusikan. Sarno menambahkan, mengingat kajian PKJS-UI juga pernah di highlight oleh Menteri Keuangan terkait studi stunting.
Menanggapi kumpulan hasil kajian, Sarno menambahkan, Kemenkeu juga berperan dalam kebijakan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi tembakau yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 tersebut. Pertama, Kemenkeu terus mengupayakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau setiap tahunnya, begitupun dengan tarif cukai rokok elektronik sebesar 15% dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sebesar 6%.
Kedua, Kemenkeu terus mengupayakan simplifikasi layer tarif cukai dengan terus melakukan kajian dan evaluasi untuk penyederhanaan secara bertahap. Ketiga, melalui PMK No. 215 Tahun 2021, Kemenkeu melakukan refocusing penggunaan dan pemanfaatan dari DBH CHT sebagai langkah mitigasi dari adanya kebijakan cukai dengan meningkatkan persentase kesejahteraan masyarakat terutama yang diperuntukan kepada para petani tembakau dan pekerja industri hasil tembakau.
Beberapa bantuan di antaranya adalah berupa bibit, pupuk, benih, maupun sarana dan prasarana produksi kepada petani tembakau untuk melakukan diversifikasi tanam.
“Namun memang dalam strategi pengendalian konsumsi rokok, selain dari kebijakan fiskal juga perlu kebijakan non–fiskal yang berjalan beriringan agar tujuan penurunan prevalensi perokok di Indonesia dapat tercapai,” imbuh Sarno.
Bunga Rampai PKJS-UI Layak Jadi Rujukan
Penanggap terakhir, Pungkas Bahjuri Ali, Ph.D., Direktur Kesehatan dan Gizi masyarakat, Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengapresiasi tim PKJS-UI yang telah menerbitkan buku Bunga Rampai hasil kajian. Sebab, Bappenas juga mendorong kebijakan berbasis bukti, sehingga buku ini dapat menjadi rujukan.
Pada kasus stunting, Pungkas mengatakan, dari angle konsumsi rokok; lalu bagaimana pathways terjadinya stunting.
“Apakah dari sisi ekonomi sehingga perlu intervensi dalam penanggulangan kemiskinan seperti temuan pada Program Keluarga Harapan (PKH)? Hal menarik lain yang disampaikan adalah mengenai bantuan sosial yang sebenarnya telah ada di dalam RPJMN,” jelas Pungkas.
Meski bansos tidak boleh digunakan untuk membeli rokok, Pungkas menyebut, Kementerian/Lembaga terkait masih memikirkan bagaimana mekanisme aturan tersebut.
Salah satu rekomendasi penelitian adalah adanya penandatanganan perjanjian agar tidak membelanjakan dana bansos untuk rokok. Itu sudah dapat diimplementasikan secara langsung adalah melalui modul Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2).
Pungkas melanjutkan, jika penerima bansos adalah perokok maka mereka bisa daftarsebagai wajib mengikuti Klinik Upaya Berhenti Merokok (UBM).
“Ke depannya diharapkan ada suatu penelitian kohort sehingga nanti dapat diketahui variabel apa yang lebih berpengaruh agar dapat diberikan fokus lebih dalam pengendalian konsumsi rokok,” tutup Pungkas. (Yat)