Diperkirakan polusi udara bertanggung jawab atas 1,8 juta kematian global setiap tahunnya.
BARISAN. CO – Tak ada yang menyangkal bahwa polusi udara dapat merugikan kesehatan manusia. Kini, sebuah penelitian terbaru dari para ilmuwan di Tiongkok menemukan, polusi udara berkontribusi terhadap peningkatan serangan jantung dan stroke.
Para ilmuwan ini berpendapat, menghirup ozon, yang juga dikenal sebagai kabut asap, mempercepat pengerasan arteri, sehingga menyebabkan penyakit kardiovaskular. Kabut asap dihasilkan di atmosfer saat emisi dari kendaraan dan industri berinteraksi dengan sinar matahari, kemudian membentuk nitrogen oksida berbahaya dan senyawa organik yang mudah menguap.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, penyakit kardiovaskular merenggut sekitar 18 juta nyawa setiap tahunnya. Sementara, diperkirakan polusi udara bertanggung jawab atas 1,8 juta kematian global setiap tahunnya.
Penelitian selama tiga tahun itu menegaskan, ozon bertanggung jawab atas peningkatan proporsi penyakit kardiovaskular seiring berjalannya waktu.
“Perubahan iklim dipercaya menciptakan kondisi atmosfer yang mendukung pembentukan ozon akan terus meningkatkan konsentrasi ozon di banyak belahan dunia,” kata penulis utama studi tersebut, Profesor Shaowei Wu dari Universitas Xi’an Jiaotong, seperti dilansir dari Study Finds.
Profesor Wu mengungkapkan, hasil penelitian tersebut menunjukkan, orang lanjut usia sangat rentan terhadap dampak buruk ozon terhadap kardiovaskular.
“Yang berarti, polusi ozon yang semakin buruk akibat perubahan iklim dan penuaan yang cepat pada populasi global dapat menghasilkan risiko penyakit kardiovaskular yang lebih besar di masa depan,” jelas Profesur Wu.
Hubungan Kabut Asap dengan Masalah Jantung
Penelitian tersebut merupakan penelitian terbesar. Didasarkan pada data dari sistem asuransi kesehatan nasional yang mencakup 70 kota dan 258 juta orang di Tiongkok, yang merupakan hampir seperlima dari populasi negara tersebut. Penelitian ini dapat mendukung bukti sebelumnya yang menerangkan, kabut asap berdampak negatif pada jantung dan pembuluh darah.
Dari tahun 2015 hingga 2017, jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit karena penyakit kardiovaskular meningkat ketika tingkat ozon meningkat.
Para peneliti membandingkan hampir 6,5 juta kasus dengan data polusi dari masing-masing kota. Mereka menemukan, setiap peningkatan 10 mikrogram per meter kubik (µg/m3) dalam konsentrasi maksimum rata-rata dua hari selama delapan jam dikaitkan dengan lebih banyak serangan jantung dan stroke, serta penyakit kardiovaskular lainnya.
“Penting untuk dicatat bahwa tingkat ozon dapat melonjak hingga lebih dari 200 µg/m3 di musim panas. Peningkatan ini akan mengakibatkan peningkatan lebih dari 8% jumlah pasien rawat inap karena stroke dan peningkatan 15 persen untuk infark miokard akut,” jelas Profesor Wu.
Kadar ozon di bawah 70 µg/m3 umumnya terjadi secara alami dan bukan akibat aktivitas manusia. Namun, kadar 100 µg/m3 atau lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan kasus yang signifikan, mulai dari 3,38% untuk stroke hingga 6,52% untuk serangan jantung. Bahkan, meski konsentrasi yang lebih rendah yaitu 70 hingga 99 µg/m3 tetap terkait dengan peningkatan rawat inap.
Studi ini juga menemukan, 3,42%, 3,74%, dan 3,02% rawat inap karena penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke, masing-masing disebabkan oleh polusi ozon.
“Studi ini menunjukkan bahwa sejumlah besar rawat inap di rumah sakit karena penyakit kardiovaskular dapat dihindari jika konsentrasi ozon berada di bawah 100 µg/m3, dengan pengurangan yang lebih besar lagi pada konsentrasi yang lebih rendah,” Profesor Wu menyimpulkan.
Sebuah penelitian sebelumnya di Inggris yang melibatkan 4.000 peserta menyebut, tingkat polusi udara yang rendah sekalipun dapat menyebabkan perubahan pada jantung serupa dengan yang terjadi pada tahap awal gagal jantung.
Orang-orang yang tinggal di dekat jalan yang sibuk dan bising rata-rata memiliki jantung yang lebih besar daripada mereka yang tinggal di daerah yang tidak terlalu berpolusi, meskipun kualitas udara berada dalam batas pedoman. Tim dari Queen Mary University of London membandingkan perubahan ini dengan dampak dari tidak aktif secara terus-menerus atau mengalami peningkatan tekanan darah. [dmr]