Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Ruang Buku di Rumah

Redaksi
×

Ruang Buku di Rumah

Sebarkan artikel ini

Bagi kalangan terpelajar, seperti siswa sekolah, pendidik, dosen, cendekiawan, budayawan, atau pun seniman, tidaklah tabu dengan tradisi membaca. Namun, berbeda dengan kebanyakan. Membaca belum dianggap pekerjaan yang menguntungkan. Mereka menilai: hanya akan membuang waktu, pemborosan energi, tidak produktif.

Kita patut miris dengan minimnya kegiatan membaca ini. Namun bisa jadi kita juga harus terpaksa maklum, karena memang kita tidak disiapkan menjadi individu pembelajar. Mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sekadar dicetak menjadi kuli pembangunan, buruh pabrik baik domestik maupun internasional dan manusia subsistem lainnya.

Konon saat kita berkesempatan duduk di bangku sekolah, tidak ada tuntutan untuk sanggup mandiri, tidak ada pembiasaan kegiatan penelitian, tidak ada dorongan untuk mengembangkan daya cipta. Sekolah-sekolah yang bertebaran sebatas membenarkan teori dan menghafal banyak pepatah, sehingga gagap begitu selesai sekolah dan mengantongi ijazah perguruan tinggi.

Keprihatinan betapa mutu pendidikan kita dan etos pas-pasan guna menggali pengetahuan, sepatutnya bersama-sama kita sikapi dengan kepala dingin. Budaya lisan lebih semarak ketimbang budaya membaca. Apalagi kini, budaya digital telah merasuk ke nadi.

Jadi, belum juga kita membiasakan kegiatan membaca sebagai peralihan dari budaya lisan, kita sudah tesergap oleh budaya digital. Sehingga, maraknya budaya desas-desus, gosipria, dan hobi mengumpulkan bahan bualan yang minim data dan fakta, harus kita tandingi dengan aktivitas literasi.

Literasi dari bahasa Latin, literatus, artinya orang yang belajar. Lalu, kita hanya bisa belajar dari “yang lebih baik”, yaitu membaca dengan tujuan mendapatkan pemahaman, bukan mengingat lebih banyak informasi dengan tingkat pemahaman yang sama.

Maka, budaya tanding atas budaya lisan dan digital di sini tidak dengan menuntut MUI agar menerbitkan fatwa haram acara infotainment TV, fatwa haram menggunakan fasilitas jejaring sosial, dan seterusnya, dan sebagainya. Sebab hal itu malah kontraproduktif, tidak tepat sasaran. Bukankah hukum yang berlaku di kehidupan ini hukum tarik-menarik?

Artinya semakin besar energi negatif yang kita lahirkan, sebesar itu pula energi yang kita tuai. Makin latah kita membodoh-bodohkan pihak lain, berarti kita sendiri yang sesungguhnya bodoh.

Fakta kekonyolan di masyarakat itu data. Masyarakat dan kita sendiri acap kali lengah terbuai oleh guyonan-guyonan murah ala “bukan empat mata”. Kita sedemikian khusyuk memelototi “opera van java”.  Nah, kecenderungan itu bukan berarti harus dimatikan. Sebab belum tentu kita akan lebih produktif menghasilkan karya adiluhung tatkala seluruh media menayangkan acara dokumenter pengetahuan.

Lalu? Langkah praktis yang bisa saya tawarkan adalah mencipta suasana belajar di rumah masing-masing. Setiap pojok ruang, kita hiasi dengan tumpukan buku yang tertata rapi. Bahkan di ruang tamu yang biasanya hanya kita isi dengan asesoris impor, bisa kita selipkan satu dua buku guna menemani asesoris yang ada.

Selagi senggang, selain asyik dengan ragam acara TV, bisa sesekali melirik samping kanan kiri ruangan yang terpajang tumpukan buku. Lambat laun kita akan tersapa oleh buku-buku, yang akhirnya hobi mengunyah buku. Buku yang saya maksud di sini pun bukan sembarang buku, melainkan buku-buku berbobot tinggi. Karena, sekali lagi kita tidak semata untuk mendapatkan informasi, apalagi hiburan, tapi meningkatkan pemahaman.

Memang, akhirnya bukan pekerjaan yang seolah tinggal membalik telapak tangan. Butuh kesiapan mental dan energi yang tidak gampang putus asa. Sebab kita sedang bertanding budaya. Peralihan budaya di negeri ini berbeda dengan peralihan yang terjadi di Barat. Eropa mengalami peralihan runtut, elegan bin mulus: budaya lisan—budaya membaca—budaya digital.