RUMAH tua itu sudah direnovasi, meski usianya lebih tua dariku. Renovasi yang aku pikir merusak arsitektur Jawa yang dipengaruhi negeri kincir angin. Terutama pada bagian atap, yang genting tanahnya telah diganti asbes. Pun ruang depan yang mestinya terbuka, tampak sebelum ini sudah diubah ala China.
Dindingnya yang sudah disemen dari dinding tanpa semen belum sepenuhnya dicat putih. Paling tidak mesti dicat supaya tidak tampak sintru. Apalagi dengan lampu neon dari listrik masih berkapasitas 110 Watt.
Aku pikir biar seiring proses waktu, aku diperkenankan tinggal oleh salah seorang pewarisnya, Gus Lutfi, teman baikku.
Aku mulai beradaptasi, agar rumah ini menjadi tubuhku. Meminta kepada Gus Fuaedi, saudara Gus Lutfi, untuk mencat dinding dan pagar rumah yang telah berkarat.
Rumah pun mulai menjadi tangan kananku, setelah pengecatan rampung. Aku mesti menumbuhkan rumah sebagai tangan kiriku.
Aku bertemu Empu Dedi, art director film, yang kini bergaul dengan barang lama. Di gudangnya aku lihat banyak tangan-tangan bekas. Kursi kayu, meja kayu, dan para rongsok. Aku tertarik pada sosok-sosok jendela proletar. Ada enam jendela aku ambil dengan harga tanpa tawar menawar.
Aku pikir, inilah tangan kiriku. Aku menjadikan para jendela sebagai karya senirupa lanjutku. Menurut Dedi, itu jendela Tegal era orde lama. Aku pun merespon dengan foto Soekarno dan daun-daun kering. Daun nangka yang berguguran di halaman rumah yang ditumbuhi ketela pohon.
ADA dua kamarmandi berhadapan berjarak kebun ketela pohon. Aku lebih suka mandi atau berhajat di peturasan berdinding bata bugil. Aku menaruh lumpang batu lama sebagai pot suflier.
Mengingatkanku pada lumpang ibu yang dibeli Dedi untuk film Soekarno Hanung Bramantyo. Bersama banyak perabot lama dari rumah ibu yang dijual.
Aku tidak tahu apa hubungan Soekarno dan lumpang batu. Dalam satu scene, Hanung bahkan mengklosap lumpang batu itu, dan aku menggumam: ibu… Soekarno memang lumpang ibu yang menumbuk padi rakyat agar menjadi beras bangsa, dalam nasi kemerdekaan. Setiap kali aku mandi aku bicara dengan lumpang, bahwa, toh aku belum sepenuhnya merdeka.
Aku belum punya kaki rumah untuk berjalan. Maka aku menyarankan kepada Gus Lutfi, untuk mengubah kebun ketela pohon sebagai tambak ikan. Barangkali dari itu aku bisa punya kaki kiri, dari ikan laut atau lele.
Baiklah, karena biaya cukup tinggi, aku kembali berserah pada proses waktu. Bagaimana kalau kita bikin kolam ikan dulu, siapa tahu bisa tumbuh menjadi kaki kananku.
Toh Gus Fuaedi rutin memancing ikan di kali Prepil. Sungai sodetan yang dibuat kakek moyangku, Ki Gede Sebayu, untuk pengairan ke sawah ladang Tetegal. Persis di bawah jembatan kereta api Gus Fuadi biasa memancing, dan aku pernah menemani, sambil tak habis pikir.
Sebabnya, Gus Fuadi jarang mendapatkan ikan. Kecuali satu-dua udang, sebagai penghuni kolam ikan. Toh Gus Lutfi kerap mengambil dan menggorengnya.
Setiap kereta api lewat, aku berpikir, tentang hidup masa lalu dan sekarang. Saat Ki Gede sebagai sisa laskar Pajang, berkuda ke Pantai Utara Jawa. Ia singgah di Pemalang, Bupati Benawa yang menunjuk tanah subur di sebelah barat Pemalang.
Tanah untuk bercocok tanam. Sekarang tanah itu bertangan kaki kereta api yang melintas di atas kepalaku. Lalu ini, teh dan goreng singkong di rusbang bambu pinggir kali.
PARA kawan menengokku yang baru punya kaki kanan. Menurut mereka, masih mending aku punya badan. Sedangkan kota ini, tidak punya kepala. Bagaimana tidak, ujar budayawan Andi Kustomo, kota ini diubah bagai kota-kota metropolitan. Kota metro sebagaimana mega kota-kota dunia.
Kita tidak lagi punya kepribadian, timpal Gus Lutfi, alun-alun diubah menjadi sekadar taman. Tidak ada lagi fungsi budaya, dan kehilangan ruang sosial. Lebih dari itu, raksasa tanpa kepala itu punya kekuatan daya gusur. Rakyat kecil terpotong tangan dan kaki.
Lihat jalan raya di pusat kota yang mau dijadikan city walk, tambah Andi. Semacam Pattaya, tapi tidak ada budaya yang dihidupkan. Sehingga kota menjadi semacam kota hantu tanpa kepala.
“Apa tidak ada pantauan dari legislatif atau para ahli,” tanyaku.
Ingat, segala sesuatu harus diserahkan kepada ahlinya, kalau tidak tunggu saat kehancurannya.
“Tampaknya memang ada pembangunan tanpa mengingat, bahwa kota adalah rumah kita, dan rumah adalah tubuh dan jiwa kita.”
Penasaran, berkaki satu aku berjalan bertubuh rumah wakaf, melihat kota tanpa kepala itu. Kota harus punya kepala lagi, batinku, dengan langkah berjingkat jingkat tanpa penopang kaki satu.
“Ya, walikota mesti terpilih lagi, untuk memasang kepala kota,” pikirku, “kalau tidak, aku akan mempersembahkan kepalaku…”*